Patah Hati, Rasa Sakit Setengah Mati, dan Otak Kita

klik.klas
7 min readMar 29, 2021

--

“Apakah ada di antara Lo yang pernah mengalami patah hati dan rasanya seperti hampir mati?”

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Klikers, apa yang Lo rasakan ketika merasakan patah hati?

Apakah dada Lo sesak, kesulitan bernapas dan dada Lo terasa sakit?

Apakah Lo merasa segala hal yang biasanya Lo anggap menyenangkan nggak lagi semenarik dulu?

Apakah ada Lo juga merasakan kehilangan semangat, gangguan tidur, dan gangguan makan juga muncul?

Untuk membahas mengapa patah hati rasanya seperti mau mati, Lo perlu membaca artikel gue sebelumnya yang berjudul “Jatuh Cinta, Kebodohan yang Menyertainya, dan Otak Kita”

APA YANG TERJADI DALAM OTAK LO SAAT PATAH HATI

Photo by Alex Iby on Unsplash

Saat Jatuh Cinta

Saat Lo jatuh cinta otak melepaskan banyak bahan kimia yang membuat Lo merasakan perasaan senang, nyaman, dan perasaan dihargai. Hubungan social, termasuk hubungan romantis, dapat meningkatkan kadar oksitosin alias “hormon cinta” dalam tubuh Lo. Hormon ini kemudian akan membantu Lo membentuk ikatan dengan orang lain. Dua bahan kimia lain yang diasosiasikan dengan hubungan romantic adalah dopamin, yang merupakan neurotransmitter yang terkait dengan kesenangan dan penghargaan, serta ada hormone lain yang disebut serotonin, yang membantu mengatur suasana hati Lo yang terkait dengan kebahagiaan.

Jadi, kesimpulannya, hormone cinta (oksitosin) + kesenangan (dopamin) + kebahagiaan (serotonin) = ramuan neurokimia yang bikin Lo mabuk kepayang. Dan ini sama dengan hormone-hormon yang muncul saat seseorang mengalami kecanduan.

Saat Patah Hati

Ketika Lo putus cinta, tiba-tiba Lo kehilangan hormone cinta (oksitosin), kesenangan (dopamin), dan kebahagiaan (serotonin). Otak Lo kehilangan suplai ketiga neurotransmiter ini secara teratur dan seperti orang yang kecanduan, tidak dapat mengakses apa yang membuat Lo nyaman, membuat banyak efek dalam biologis Lo. Beginilah cara peristiwa patah hati menghancurkan otak. Sebab, kekurangan bahan kimia ini dapat membuat Lo merasa cemas, tertekan, dan terisolasi.

Selain itu, penelitian membuktikan bahwa peristiwa negative, termasuk penolakan social, dipersepsi oleh otak sama dengan rasa sakit fisik. Artinya, nggak ada bedanya, rasa sakit psikologis dan fisik, karena semuanya dipersepsi otak sebagai rasa sakit yang sama. Kalau seseorang bisa tergeletak nggak berdaya di atas kasur karena demam setelah kehujanan parah, sama juga, seseorang yang mengalami peristiwa yang membuat ia tertekan bisa juga membuat ia tergeletak tak berdaya di atas ranjang.

Naomi Eisenbuerger, Ph.D. di University of California di Los Angeles menyatakan, area otak Lo yang menyala saat Lo terluka secara fisik adalah area yang sama yang menyala saat Lo mengalami “penolakan sosial”. Kedua peristiwa ini akan mengirimkan hormon stres (kortisol dan epinefrin) secara cepat kepada seluruh sistem tubuh Lo. Kortisol yang berlebihan membuat otak Lo mengirim supply darah ke otot, menyebabkan otot Lo mendapat supply darah yang banyak dan otot akhirnya berkontraksi untuk tindakan cepat. Hal ini biasanya juga terjadi pada saat Lo siap untuk melakukan penyerangan, olahraga atau tindakan cepat lainnya.

Saat Lo patah hati, kortisol di otak Lo membuat otot Lo siap siaga, tapi karena Lo nggak kemana-mana selain menekuri nasib Lo, berbaring di tempat tidur, menonton YouTube dan scroll Instagram doi, akhirnya otot Lo yang harusnya dipakai untuk melakukan tindakan cepat (yang akhirnya nggak digunakan) menyebabkan komplikasi pada berbagai bagian tubuh Lo yang lain, seperti sakit kepala, leher kaku, serta rasa sakit yang menggila di area pernapasan dan jantung.

PATAH HATI BISA MEMBUNUH JUGA, KENAPA?

Photo by Road Trip with Raj on Unsplash

Apakah Lo pernah melihat mengapa orang yang ditinggalkan pasangan hidupnya, mengalami penurunan kondisi setelah peristiwa menyakitkan itu?

Patah hati yang sangat intens yang terjadi karena kematian orang yang dicintai atau peristiwa emosional serupa bisa berdampak jauh lebih buruk dan bisa berakibat munculnya sindrom patah hati atau Kardiomiopati Takotsubo. Menurut American Heart Association, sindrom ini melepaskan hormon stres ke otot jantung Lo — yang berlangsung satu menit setelah kejadian — yang mengganggu fungsi regular jantung Lo. Kardiomiopati Takotsubo diantara para peneliti medis dan neuroscience sering dinamakan sebagai broken heart syndrome. Inti dari sindrom ini adalah terjadinya ketidakberfungsian ventrikel kiri jantung secara akut dalam beberapa waktu setelah kejadian, bisa 1 menit sampai — 21 hari. Kenapa terjadi kardiomiopati ini, sebab adanya stres fisik maupun emosional dalam 1–5 hari terakhir. Gejala Kardiomiopati Takotsubo seringkali berupa nyeri dada dan sesak napas, mirip dengan sindrom koroner akut. Gejala lainnya dapat berupa komplikas lain seperti gagal jantung, edema paru (sesak napas), stroke, syok kardiogenik, hingga henti jantung.

PATAH HATI SAKIT RASANYA, TAPI TETAP ADA OBATNYA

Bagaimana cara mengatasinya? Kembali ke prinsip awal dimana saat Lo patah hati, Lo sedang kehilangan 3 hormon penting, yaitu hormone cinta (oksitosin) + kesenangan (dopamin) + kebahagiaan (serotonin). Sehingga, pendekatan neurosains dalam hal ini adalah dengan mencari cara untuk melakukan pengisian hormone tersebut kembali. Kabar baiknya adalah ketiga hormone ini bisa didapat dengan berbagai cara yang nggak selalu harus berkaitan dengan berada dalam sebuah hubungan romantic. Caranya bisa bermacam-macam, tergantung kebiasaan dan karakter Lo sendiri. Nah, berikut ini adalah cara-cara yang gue harap bisa membantu Lo versi gue.

Merawat Diri

Kehilangan zat yang bikin kecanduan secara tiba-tiba bisa menyebabkan perasaan sakau yang parah dan mungkin berbagai komplikasi kesehatan Lo juga. Gue sarankan untuk mencoba mengganti supply hormone tersebut dengan hal-hal baru lainnya yang membuat Lo Bahagia. Salah satunya dengan merawat diri Lo. Perawatan diri ini nggak melulu soal berdandan dan bersolek, tapi bisa juga lebih merawat dan menjaga kebersihan dan kerapihan di sekitar Lo, makan yang lebih sehat, atau Lo bisa mengganti penampilan, membeli barang yang membuat Lo nyaman, dan berbagai macam aktivitas rawat diri lainnya.

Berolahraga Bisa Membuat Lo Lebih Bahagia

Gue tahu ini basi banget. Tapi, olahraga bisa jadi cara Lo merilis stress dan mendapatkan hormone lain sebagai gantinya. Sebab, udah merupakan pengetahuan umum bahwa berolahraga melepaskan endorfin yang mengundang perasaan senang, bahagia, dan perasaan euphoria yang lebih alami.

Mempelajari Apa yang Terjadi

Bagi gue pribadi, bagian mencari penjelasan tentang apa yang terjadi dengan gue ternyata menghasilkan keajaiban dan kelegaan, seperti gue nggak berada dalam situasi yang gelap seperti sebelumnya. Lo bisa mendengarkan podcast, membaca buku, melihat video tentang apa yang sebenarnya Lo alami, termasuk salah satunya membaca artikel ini. Pengetahuan memberi Lo banyak kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan tentang mekanisme yang terjadi dan cara melaluinya.

Mencari Teman Baru Itu Penting

Kalau Lo mempelajari informasi menarik dan baru setiap hari, Lo bisa aja memiliki banyak hal menarik untuk dibicarakan setiap hari. Ini membantu Lo memiliki keterampilan social dan menaikkan harga diri Lo karena Lo dapat nyambung ngobrol dengan banyak jenis orang. Di saat Lo merasa kehilangan relasi romantic Lo secara menyakitkan, Lo bisa menggantinya dengan hubungan lain yang bermakna.

Mengekspresikan Emosi Lo

Kalau Lo masih membutuhkan beberapa saat untuk menangis atau merenung, Lo tetap bisa melakukannya. Kalau Lo membutuhkan satu setengah jam setiap hari untuk menangis tentang hal itu dan merasa enak untuk diri Lo sendiri, Lo tetap boleh membiarkan diri Lo seperti itu. Meskipun ini terkesan nggak mendorong Lo untuk move on, merilis emosi negative terbukti lebih baik daripada menahannya. Jadi, kalau Lo masih merasa dalam kondisi yang ingin menangis, maka menangislah.

Mendekat Kepada Sang Pencipta

Dalam banyak kasus, perasaan terhubung dengan kekuatan yang lebih besar daripada diri kita sendiri akan membuat kita merasa lebih baik. Sehingga, cobalah untuk bercerita dan mendekat kepada Sang Pencipta.

Sepatah Kata Dari Klik.Klas

Klikers, apakah Lo sedang atau pernah patah hati yang sangat menyakitkan, percayalah Lo akan baik-baik saja. Untuk jadi muda yang selalu bertumbuh setiap hari, berbagai pengalaman termasuk patah hati, dapat membuat Lo semakin dewasa, empatik, dan menjadi manusia seutuhnya yang pernah merasakan berbagai pengalaman hidup. Patah hati itu nggak mudah, gue tahu itu sangat menyakitkan, Lo boleh menenggelamkan diri Lo dalam kubangan kesedihan, tapi ingat, beri batas waktu untuk bersedih, dan cari cara untuk bangkit lagi. Sekali lagi, gue yakin, Lo akan baik-baik saja.

Kunjungi Media Sosial Klik.Klas Lainnya

Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas

Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget! Klik di sini.

Tentang Penulis

Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A

Salam kenal gue Fakhi. Gue merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi sosial yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Yuk baca dan cari lebih dalam tulisan-tulisan gue di Instagram @fakhirah.ir

Tulisan Ini Lahir Dari Tulisan Lainnya

Eisenberger, N. I. (2012). Broken hearts and broken bones: A neural perspective on the similarities between social and physical pain. Current Directions in Psychological Science, 21(1), 42–47.

Eisenberger, N. I. (2012). The neural bases of social pain: evidence for shared representations with physical pain. Psychosomatic medicine, 74(2), 126.

Eisenberger, N. I., & Lieberman, M. D. (2004). Why rejection hurts: a common neural alarm system for physical and social pain. Trends in cognitive sciences, 8(7), 294–300.

Eisenberger, N. I., & Lieberman, M. D. (2004). Why rejection hurts: a common neural alarm system for physical and social pain. Trends in cognitive sciences, 8(7), 294–300.

Eisenberger, N. I., Lieberman, M. D., & Williams, K. D. (2003). Does rejection hurt? An fMRI study of social exclusion. Science, 302(5643), 290–292.

Field, T. (2017). Romantic breakup distress, betrayal and heartbreak: A review. Int J Behav Res Psychol, 5(2), 217–25.

Koulouris, S., Pastromas, S., Sakellariou, D., Kratimenos, T., Piperopoulos, P., & Manolis, A. S. (2010). Takotsubo cardiomyopathy: the “broken heart” syndrome. Hellenic J Cardiol, 51(5), 451–7.

Panksepp, J. (2005). Social support and pain: How does the brain feel the ache of a broken heart?. Journal of Cancer Pain & Symptom Palliation, 1(1), 59–65.

Peters, M. N., George, P., & Irimpen, A. M. (2015). The broken heart syndrome: Takotsubo cardiomyopathy. Trends in cardiovascular medicine, 25(4), 351–357.

Rivera, J. M., Locketz, A. J., Fritz, K. D., Horlocker, T. T., Lewallen, D. G., Prasad, A., … & Kinney, M. O. (2006, June). “Broken heart syndrome” after separation (from OxyContin). In Mayo Clinic Proceedings (Vol. 81, №6, pp. 825–828). Elsevier.

Ta, V. P., Gesselman, A. N., Perry, B. L., Fisher, H. E., & Garcia, J. R. (2017). Stress of singlehood: Marital status, domain-specific stress, and anxiety in a national US sample. Journal of Social and Clinical Psychology, 36(6), 461–485.

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet