“Kalau mencintaimu adalah kesalahan, ya sudah. Biar. Aku salah terus saja.” (Dilan)
Kutipan ini gue ambil dari novel Dilan 1990 yang kemudian diangkat ke layar kaca. Novel ini bercerita tentang dua anak muda bernama Dilan dan Milea dengan kisah cinta SMA di tahun 1990-an. Salah satu hal yang bikin novel ini laris adalah kalimat-kalimat gombalan ajaib dari mulut Dilan, yang katanya sih banyak bikin klepek-klepek nggak karuan yang digombalin.
Klikers, gue kali ini nggak akan membahas soal betapa keren dan unyunya Dilan (kalau Lo bukan fans Dilan, Lo paling akan ngerasa cringe hehe), tapi gue focus sama fenomena perilaku jatuh cinta yang menjadi inti besar dari cerita ini. Cinta adalah tema klasik yang begitu mendorong begitu banyak karya dalam berbagai bidang, dari sastra, seni, bahkan arsitektur dan kuliner. Hari ini pada akhirnya, terimakasih pada cinta, gue juga terdorong untuk bicara tentang perilaku jatuh cinta dari sudut pandang yang lebih sedikit disorot orang, yaitu apa yang terjadi di otak Lo ketika Lo jatuh cinta.
***
“Cinta itu Apa, sih?”
Gue teringat sebuah percakapan dari dua anak kecil cowok dan cewek dengan seorang penjual kentang goreng di depan rumah gue. Saat itu ada seorang anak perempuan dan laki-laki yang tengah menunggu pesanan kentang goreng mereka siap. Sambil menunggu mereka bercakap-cakap dalam Bahasa Jawa, yang gue coba terjemahkan seperti ini.
“Eh, sana pergi ke taman cinta sama pacarmu,” kata anak perempuan.
“Lho, apa sih taman cinta itu?” tanya anak laki-laki itu ke anak perempuan di sampingnya.
“Ya, sana tanya sama pacarmu,” Karena pembicaraannya terasa ga beres, abang penjual kentang goreng langsung menyahut,
“Eh, heh, heh, ngomongin apa. Cinta itu tandanya apa?” tanya abang penjual gorengan sambil nyiapin bumbu gorengan.
“Love gini, bang” si anak laki-laki membuat simbolik tanda hati yang mainstream (padahal bentuk hati kan ga kayak gitu ya, haha).
“Terus warnanya apa?” tanya abang tukang goreng itu.
“Merah, bang,” jawab mereka lagi.
“Merah tandanya apa?” kejar si abang penjual kentang goreng ke mereka.
“Apa ya, bang? Kagak tahu, bang.” Sahut salah satu dari mereka.
“Merah itu artinya bahaya. Jadi cinta itu bahaya. Sudah, masih kecil ngomongin cinta-cintaan. Ini kentang gorengnya,” usir abang penjual kentang goreng begitu mereka menerima pesanan.
Gue yang merasa lagi ngelihat “mini-series” dengan tema “cinta di mata anak-anak” itu menjadi terbahak-bahak. Lucu aja. Gimana nggak? Percakapan soal cinta, dibicarakan oleh anak kecil, yang berusaha dibantah dengan sederhana oleh abang penjual kentang goreng. In a way, abangnya bener juga sih ngejelasinnya, dan gue harus mengapresiasi kalimat sederhana si abang penjual gorengan yang gue rasa cocok untuk disampaikan kepada anak kecil macam dua pembelinya tadi. Dan lagi, interpretasi sederhana soal cinta si abang penjual gorengan itu membawa gue pada sebuah perenungan yang lebih mendalam yang akhirnya membawa gue ke obrolan kali ini.
Akhirnya, hari ini gue akan ngomongin cinta dalam sudut pandang yang ilmu yang gue sempat pelajari yaitu neuropsikologi, psikologi kognitif, biopsikologi, whatever the name, pokoknya ngomongin perilaku manusia dari sudut biologisnya.
Oke, pegangan yang kenceng karena gue akan membawa Lo jalan-jalan ke dalam otak kita. Gue akan mencoba menjelaskan se-awam mungkin, tapi kalau usaha gue gagal, dan Lo merasakan turbulensi yang dahsyat selama perjalanan, tolong Lo hubungin gue via DM ke @Klik.Klas untuk request bahasan yang lebih sederhana. So, ready?
CINTA DAN PEMBUKTIAN SAINS
Ilmuwan di berbagai bidang mulai dari antropologi hingga para neurosaintis juga nanyain pertanyaan yang kurang lebih premisnya sama, yaitu cinta itu apa sih. Kalau Lo googling frase “keilmiahan cinta’’ Lo akan dapat banyak banget tafsirnya. Sebagaimana karakter sains, sains berusaha menjawab misteri-misteri di dunia ini, tapi bagaimanapun bagusnya, sains tetap terus berkembang dan tidak tegas untuk membuat kesimpulan yang bulat dan tegas dalam sebuah fenomena. Sehingga, mendefinisikan apa itu cinta secara tegas, tentu pekerjaan yang masih panjang. Tapi, mari kita bahas perkembangan terbaru soal cinta, tapi pahami bahwa mendefinisikan cinta adalah pekerjaan yang belum selesai, sebagaimana cinta itu sendiri yang terus hadir sepanjang hayat. Ahay….
Otak dan Cinta
Pikirkan ketika terakhir kali Lo bertemu dengan seseorang yang menurut Lo sangat menarik dan tipe Lo banget. Suhu tubuh Lo bisa aja mendadak panas dingin. Lo mungkin tiba-tiba gagap, telapak tangan Lo mungkin berkeringat, Lo mungkin juga rambling, mengatakan sesuatu yang konyol, bisa juga Lo tiba-tiba kesandung saat mencoba menghindari orang itu. Dan kemungkinan besar, jantung Lo bisa berdebar-debar ga karuan.
Kalau Lo mengalami hal itu, tenang Lo nggak sendirian. Soalnya, selama berabad-abad, orang mengira cinta dan sebagian besar emosi lainnya muncul dari hati. Tapi, ternyata, cinta itu terjadi di otak — yang, Lo tahu sendiri, otak berhubungan dengan mekanisme seluruh badan Lo. Artinya, ini sama ketika Lo mengalami stress dan tiba-tiba tubuh Lo jadi nggak enak badan, nggak nafsu makan, deg-degan bahkan sakit-sakitan. The process is similar.
Menurut tim ilmuwan yang dipimpin oleh Dr. Helen Fisher di Rutgers, cinta dapat dibagi menjadi tiga kategori: nafsu (lust), ketertarikan (attraction), dan keterikatan (attachment). Setiap kategori punya ciri mekanisme syaraf dan hormonnya sendiri.
Lust
Gue akan mulai dari jenis yang pertama yaitu nafsu (lust). Basically, Tuhan menciptakan sebuah mekanisme supaya manusia itu nggak punah, salah satunya dengan menghadirkan ketertarikan terhadap lawan jenis termasuk dorongan seksual. Intinya, jenis cinta yang penuh dengan dorongan nafsu (nafsu apa hawa nafsu ya, yaelah gue bingung Bahasa awamnya apa) adalah jenis cinta yang memang didorong oleh dorongan seksual pada manusia yang emang ditujukan untuk berkembang biak.
Lalu, bagaimana reaksi kimia di tubuh dan otak kita saat ketertarikan seksual ini hadir. Well, hipotalamus otak berperan besar dalam hal ini, merangsang produksi hormon seks testosteron dan estrogen dari testis dan ovarium.
Meskipun bahan kimia ini sering distereotipkan sebagai hormone “cowok” (testosterone) dan “cewek” (estrogen), in fact, keduanya berperan dalam diri laki-laki dan perempuan. Sebab ternyata, testosteron meningkatkan libido hampir pada semua orang, mau itu cewek atau cowok. Misalnya, ketertarikan seksual biasanya muncul saat kedua hormone ini tinggi.
Attraction
Nah, ketertarikan ini merupakan ekspresi cinta yang agak beda sama yang lust (nafsu). Meskipun hormon-hormon seksual pada orang yang Lo merasa tertarik akan tetap aktif, tapi menariknya, jenis keterkaitan ini bisa juga nggak mengaktivasi hormon-hormon seksual. Sebab, penelitiannya menjelaskan bahwa jenis cinta yang ini jalur kimianya, bukan berkaitan dengan hormon seksual doang. Jenis cinta yang ini mengaktivasi jalur otak yang berkaitan dengan perilaku yang terasa memuaskan dan penuh penghargaan. Biar lebih jelas, langsung aja kita sebut para pemainnya, yaitu ada dopamine, yang diproduksi oleh hipotalamus, dilepaskan saat Lo melakukan hal-hal yang menyenangkan dan memuaskan. Misalnya, saat Lo menghabiskan waktu dengan orang-orang yang Lo sayangi, saat Lo merasa bahagia, saat Lo mencapai sesuatu, dan saat Lo merasa diapresiasi. Tingkat dopamin yang tinggi dan teman dekatnya nih, norepinefrin, dilepaskan selama Lo mengalami aktivitas yang memuaskan.
Tapi pernah nggak sih Lo, di masa-masa awal jatuh cinta, Lo bisa kayak capeeek banget, kadang disertai nggak nafsu makan? Penjelasan yang memungkinkan seperti ini… Dopamin ini punya efek samping, yaitu bikin kita cepet lelah, karena memicu detak jantung lebih dari saat kita nggak merasa tertarik. Si hormon ini membuat kita pusing (karena kita jadi energik dan gembira), bahkan bisa juga jadi menurunkan nafsu makan dan gangguan tidur, semacam insomnia, yang berarti Lo sebenarnya bisa begitu “jatuh cinta” sehingga nggak bisa makan dan nggak bisa tidur. Kalau Lo jatuh cinta (apalagi pakai banget), bayangin si dopamine ini lagi kerja lembur bagai kuda, hehe. Akibatnya, jantung Lo dipicu lebih lagi dan segala gejala fisik akibat si Jantung bekerja lebih cepat juga menyertai.
Sekarang kita kenalan sama norepinefrin, yang juga dikenal sebagai noradrenalin. Hormon ini bekerja sangat cepat saat Lo stres dan membuat Lo tetap waspada. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa partisipan yang sedang jatuh cinta, kemudian diberi perlakuan dengan ditunjukkan foto orang yang mereka sedang cintai, lalu otak mereka dimonitor dengan dibandingkan dengan foto yang netral. Hasilnya, otak orang yang sedang jatuh cinta benar-benar menunjukkan bahwa pusat “penghargaan” (reward) utama di otak, termasuk area tegmental ventral (ventral tegmental) dan nukleus kaudatus (caudate nucleus), menyala seperti “orang gila” ketika partisipan diperlihatkan foto seseorang yang sangat mereka sukai, dibandingkan dengan ketika mereka ditunjukkan seseorang yang mereka rasa nggak ada hubungan.
Penjelasan lain, kenapa kalau Lo jatuh cinta, Lo jadi nggak nafsu makan, karena perasaan tertarik dengan lawan jenis yang begitu kuat membuat hormone serotonin menurun. Serotonin adalah hormon yang diketahui terlibat dalam nafsu makan dan suasana hati. Menariknya, orang yang menderita gangguan obsesif-kompulsif, alias gangguan dengan tingkat obsesi yang tinggi, juga memiliki kadar serotonin yang rendah, membuat para ilmuwan berspekulasi bahwa inilah yang mendasari rasa tergila-gila yang menjadi ciri tahap awal cinta. Tapi, kaitan jatuh cinta sama posesifitas masih perlu diteliti lebih lanjut.
Attachment
Terakhir, attachment atau kelekatan adalah faktor utama dalam hubungan jangka panjang. Sementara nafsu dan ketertarikan (attraction) cukup eksklusif untuk hubungan romantis, keterikatan attachment ditemukan pada jenis-jenis hubungan persahabatan, ikatan Lo dengan orangtua, hubungan sosial, dan banyak lainnya. Dua hormon utama yang terlibat adalah oksitosin dan vasopresin.
Oksitosin sering dijuluki “hormon pelukan” (cuddle hormone) beberapa ilmuwan lainnya menamakan hormone oksitosin dengan hormon keibuan, karena membuat orang merasa nyaman. Seperti dopamin, oksitosin yang diproduksi oleh hipotalamus dan dapat dilepaskan dalam jumlah besar saat berhubungan seks, menyusui, dan melahirkan. Kalau Lo lihat-lihat lagi, mungkin aktivitas melahirkan nggak menyenangkan, tapi menjadi salah satu peristiwa dimana hormone oksitosin berlimpah. Karena, hormone ini yang membuat adanya ikatan antara ibu dan anak.
CINTA ITU SAKIT, TAPI TETEP JATUH CINTA LAGI
Dari tadi gue udah cerita jenis cinta, dari lust, attraction dan attachment yang kesannya menimbulkan emosi positif. Tapi, bahasan gue belum selesai, guys. Seringkali, cinta juga diiringi emosi-emosi negatif.
Misal, pernah ga sih Lo, jatuh cinta terus rasanya seseeek banget. Apalagi kalau orang yang Lo sukai nggak membalas rasa cinta Lo, atau dia kejauhan di luar jangkauan Lo, atau lain-lainnya. Atau kalau kangen, rasanya sakiiiit banget, bikin gelisah sampai gangguan makan dan tidur.
Jadi ini gambaran besar jatuh cinta yang sesungguhnya, yaitu ada sisi positif dan negatifnya. Cinta sering kali hadir bersamaan kecemburuan, gelisah dan irasionalitas serta lahirnya emosi dan suasana hati yang kurang positif. Kelompok kelompok hormon kita yang tadi gue sebutin di atas juga bertanggung jawab atas sisi negatif cinta.
Jadi Sakau Karena Cinta
Dopamin, misalnya, adalah hormon yang bertanggung jawab atas sebagian besar jalur penghargaan di otak Lo. Terutama saat Lo mengalami lonjakan dopamin karena jatuh cinta. Faktanya, si dopamin ini adalah pembelajar yang sangat baik dalam urusan kecanduan. Alias, sisi lain dari dopamin adalah dia juga hormon yang berkaitan dengan adiksi, termasuk perilaku adiktif lainnya, seperti penggunaan zat terlarang, doyan main game sampai hal-hal lain yang intinya bikin Lo kecanduan.
Percaya atau ga, di otak manusia, area otak yang menghasilkan dopamine juga menyala saat pecandu narkoba mengonsumsi kokain atau saat kita kecanduan makanan yang manis-manis, kecanduan barang-barang. Dan seorang yang kecanduan biasanya merasakan perasaan gelisah ketika apa yang mereka inginkan nggak bisa segera dimiliki. Kalau kayak gini, benarlah istilah cinta adalah candu.
Jadi Buta Karena Cinta
Ceritanya agak mirip untuk oksitosin, si hormone pelukan atau keibuan. Seperti yang gue bilang tadi, hormone oksitosin sebagai hormon “bonding/ikatan”, fungsinya untuk membantu Lo memperkuat perasaan positif yang terhadap orang yang Lo cintai. Artinya, saat Lo menjadi lebih terikat pada keluarga, teman, dan orang penting lainnya, oksitosin bekerja untuk mengingatkan kita mengapa kita menyukai orang-orang ini dan meningkatkan kasih sayang kita kepada mereka. Nah, kalau berlebihan ternyata bisa jadi cinta buta. Karena kita merasa terikat begitu amat sangatnya, sampai kita nggak bisa melihat dengan objektif. Jadi, kalau jatuh cinta kadang emang orang jadi buta, bisa dibenarkan juga. Ya, at least, buta secara psikologis.
Jadi Bodoh Karena Cinta
Pernahkah Lo melakukan suatu hal, saat Lo sedang jatuh cinta, yang kemudian Lo sesali? Atau pernah nggak sih Lo melihat orang yang jatuh cinta entah kenapa bisa jadi nggak tahu malu? Bahkan bertindak dengan nggak rasional?
Oke, balik lagi ke dopamin, si hormon yang juga bertanggung jawab terhadap kecanduan ini juga membuat otak yang buat mikir jadi nggak peka. Produksi dopamine yang berlebihan bisa mematikan wilayah di otak kita yang mengatur pemikiran kritis, kesadaran diri, dan perilaku rasional, yaitu bagian dari korteks prefrontal. Makanya, kalau orang kecanduan, mereka nggak bisa mikir. Singkatnya, cinta eh dopamine yang berlebihan bisa juga membuat (kita) bodoh.
Sepatah Kata dari Klik.Klas
Klikers, seperti tagline kita, yaitu, menjadi muda yang selalu bertumbuh setiap hari, gue pengen menggaris bawahi bahwa Lo boleh jatuh cinta, tapi kenali mekanisme diri Lo ketika jatuh cinta, supaya Lo bisa lebih baik berhadapan dengan proses alamiah ini. Mencintai seseorang itu nggak dosa. Bisa jadi itu proses bertumbuh Lo juga. Karena Lo belajar pengalaman baru.
Gue nggak melarang Lo jatuh cinta. Ngapain juga dilarang, Tuhan aja nggak ngelarang. Tapi sebagaimana Sang Pencipta bilang, “control” karena saat jatuh cinta bisa jadi kita sedang nggak benar-benar rasional. So, kontrol diri ini penting banget.
Semoga Lo nggak bertindak bodoh saat Lo diserang virus merah jambu ini. Tetap usahakan menghadirkan keputusan-keputusan yang mendekati logis, meskipun gue tahu, manusia nggak bisa sepenuhnya rasional.
Kalau Lo terlanjur melakukan hal-hal yang Lo sesali karena jatuh cinta, bahkan perilaku yang bertentangan dengan norma (missal budaya dan agama), gue harap Lo segera melakukan kontrol diri supaya hal ini nggak terulang.
Klikers, jatuh cinta bisa menjadi hal terbaik dan terburuk yang Lo alami. Bisa jadi membuat Lo semangat bangun di pagi hari, atau sebaliknya, membuat Lo nggak semangat bangun lagi. Tapi, pahami mekanismenya, supaya Lo tahu cara kontrolnya.
Semoga bermanfaat!
Kunjungi Media Sosial Klik.Klas Lainnya
Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas
Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget!
Tentang Penulis
Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A
Fakhi merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi sosial yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Tahu lebih dalam tulisan lainnya di Instagramnya @fakhirah.ir
Semua Ini Bisa Dibaca Di…
Bianchi-Demicheli, F., Grafton, S. T., & Ortigue, S. (2006). The power of love on the human brain. Social Neuroscience,, 1(2), 90–103.
Brown, L. L. (2018). Intense romantic love uses subconscious survival circuits in the brain. In Think Tank (pp. 208–214). Yale University Press.
Fisher, H. (2005). Why we love: The nature and chemistry of romantic love. Macmillan.
Fisher, H. E., Aron, A., & Brown, L. L. (2006). Romantic love: a mammalian brain system for mate choice. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 361(1476), 2173–2186.
Earp, B. D., Wudarczyk, O. A., Foddy, B., & Savulescu, J. (2017). Addicted to love: What is love addiction and when should it be treated?. Philosophy, psychiatry, & psychology: PPP, 24(1), 77.
Ortigue, S., Bianchi-Demicheli, F., Patel, N., Frum, C., & Lewis, J. W. (2010). Neuroimaging of love: fMRI meta-analysis evidence toward new perspectives in sexual medicine. The journal of sexual medicine, 7(11), 3541–3552.
Xu, X., Aron, A., Brown, L., Cao, G., Feng, T., & Weng, X. (2011). Reward and motivation systems: A brain mapping study of early‐stage intense romantic love in Chinese participants. Human brain mapping, 32(2), 249–257.
https://sitn.hms.harvard.edu/flash/2017/love-actually-science-behind-lust-attraction-companionship/