Toxic Femininity: “Lo Cewek Nggak Sih, Kok Gini?”

klik.klas
5 min readJun 19, 2021

--

Photo by Théo rql on Unsplash

“Ih, parah ya cewek itu, dekil, masa sih nggak bisa dandan, bukannya kodrat cewek mempercantik diri?”

“Kok dia sebagai cewek, ambil kerjaan-kerjaan kasar gitu sih. Kerjaan gitu kan nggak cewek banget,”

“Kok, dia nggak lemah lembut gitu sih. Cewek kan harusnya lemah lembut gitu,”

“Gue kan cewek, gue lemah, jadi biar cowok aja yang ngelakuin itu,”

“Maafin gue ya, gue nggak kuat ngelakuin kerjaan kayak gini. Lo kan cowok, lebih kuat dari gue, Lo bantu gue ngelakuin ini dong,”

“Ih semua cewek bisa dandan, masak Lo nggak bisa? Kan kodratnya cewek bisa dandan,”

“Serius Lo nggak bisa masak? Tugasnya cewek kan masak”

Pernah nggak Lo mendengar pernyataan-pernyataan seperti ini? Atau, jangan-jangan Lo bukan semata pernah mendengar dan menerima kalimat seperti ini? Tapi, malah orang yang sering melontarkan ucapan seperti ini.

Menariknya lagi, seringkali kata-kata ini bukan dilontarkan dari mulut para cowok, melainkan terlontar dari mulut para cewek itu sendiri.

Ada baiknya kali ini kita ngobrolin soal toxic femininity untuk membedah apa di balik kalimat-kalimat itu.

**

Berlindung Di Balik “Kan Gue/Lo Cewek”

Photo by Mark Pan4ratte on Unsplash

Kok, cewek kayak gitu sih,” adalah sebuah ungkapan yang menjelaskan bahwa seseorang yang dikomentari ini sedang berada di luar standar ideal menjadi seorang cewek.

Berbicara soal standar ideal bagi gender tertentu, Lo bisa jadi lebih sering mendengar tentang Toxic masculinity padahal ada juga toxic femininity. Toxic masculinity secara umum menggarisbawahi peran gender yang stereotipikal cowok, seperti karakter dominan, agresif, dan lain-lain yang dianggap masyarakat “Cowok banget”. Mereka dengan toxic masculinity merasa bahwa karakter-karakter stereotipikal itulah yang benar, sehingga menepiskan karakter-karakter lain yang bisa aja dipunyai cowok. M

Pada kutub lainnya, ada set peran gender yang stereotipikal juga buat para cewek, seperti cewek itu kudunya lembut, nggak agresif, nggak dominan alias submissive, dan lain sebagainya yang dianggap “Cewek banget”. Mereka dengan toxic femininity cenderung mendewakan karakter-karakter perempuan yang stereotipikal ini, seperti lembut, lemah, submisif, rapuh, dan lain sebagainya. Individu dengan toxic feminity akan menjaga betul gambaran ideal feminin yang sangat stereotipikal ini. Karena sangat mendewakan karakter stereotipikal cewek ini, maka ekspresi lain yang sering muncul adalah menyerang gambaran feminine yang berlawanan dengan idealisme femininitas mereka.

Padahal, hari ini semakin banyak cewek yang memiliki pendidikan tinggi, kerjaan yang mumpuni, dan pangkat yang bagus yang pada masa-masa sebelumnya nggak sebanyak pada kesempatan hari ini. Namun, entah kenapa banyak juga cewek lain yang bukannya mengapresiasi, memberi penghargaan, dan merayakan pencapain yang diraih perempuan lainnya, namun malah menjatuhkan.

Fakta Pahit

Photo by Ben White on Unsplash

Banyak yang takut bicara tentang ini karena takut akan memperkuat stereotip negatif tentang perempuan. Tapi, entah kenapa lebih banyak fenomena cewek menyerang cewek lainnya. Cewek kita lihat menargetkan satu sama lain dalam konteks pribadi: Lo mungkin pernah denger menantu perempuan versus ibu mertua, kisah pertengkaran antar sahabat, persaingan saudara perempuan klasik, dll. Fakta pahitnya adalah perempuan akhirnya terus berhadapan dengan banyak tantangan, dari pria yang misoginis (sangat merendahkan perempuan) sampai rekan perempuannya sendiri yang punya toxic femininity. Sebuah data menunjukkan bahwa cewek ternyata juga sering mendapat stigma jelek dari sesama cewek. Kita sering ragu untuk berbicara secara terbuka soal toxic femininity ini.

Memang, toxic femininity pada dasarnya adalah respon dari kegagalan yang panjang, kurangnya apresiasi dan akhirnya banyak cewek mengkompensasi kekalahan dan penyesalan dengan cara pasif agresif. Bentuk dari pasif agresif seringkali muncul dengan nada nyinyir atau lainnya. Bahkan, lebih dari 70% perempuan merasa pernah merasakan intimidasi dari sesama perempuan lainnya dengan alasan, “cewek kok gitu,”

Apa yang Harus Lo Lakukan Saat Menerima Komentar Berbau Toxic Feminity

Photo by Adam Winger on Unsplash

Lo bisa jadi salah satu orang yang pernah menerima pertanyaan soal seberapa sejati diri Lo sebagai perempuan atau hal-hal lain dari para perempuan lainnya, maka pahamilah kadang hal ini terjadi bukan karena kemauan mereka sendiri. Bisa jadi pola asuh dan lingkungan sekitar melakukan hal ini sehingga dari kecil melihat dan mempelajari sikap dan perilaku-perilaku seperti ini. Dalam lingkup yang lebih besar, budaya dan sejarah suatu masyarakat juga mempengaruhi pola pikir dan sikap kita. Akhirnya, memahami lebih jauh bahwa seringkali sikap seperti ini lahir dari ketidaktahuan akan membawa Lo ke sebuah kondisi lebih memaafkan apa yang mereka lakukan.

Berhati-hatilah Terjebak Perilaku Toxic femininity Ini

Photo by Ben White on Unsplash

Kalau Lo bersikap pasif agresif, berkomentar yang merendahkan rekan cewek Lo, tertawa dan basa-basi pals uke rekan cewek Lo. Bisa jadi Lo sedang cemburu, benci ke rekan cewek lainnya, entah karena penampilan, popularitas, profesionalitas dan hidup mereka. Jadi, tahan diri Lo agar nggak terjebak dengan hal ini.

Sepatah Kata Dari KlikKlas

Photo by wildan alfani on Unsplash

Klikers, “Real queens fix each other’s crowns”, para ratu yang sesungguhnya adalah mereka yang saling menyangga satu sama lain, bukan menjatuhkan satu sama lain. Jadi, kalau Lo pernah menerima pernyataan yang menjatuhkan dari perempuan lainnya karena pencapaian yang Lo lakukan, berbesar hatilah. Sementara para cewek lainnya, berhati-hatilah agar nggak menjatuhkan rekan kalian dan terjebak dalam perilaku toxic femininity ini. Dengan memahami apa yang terjadi dan fenomena-fenomena di sekitar kita, semoga menjadikan kita muda yang semakin bertumbuh setiap hari.

Kunjungi Media Sosial Klik.Klas Lainnya

Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas. Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget! Klik di sini.

Tentang Penulis

Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A

Salam kenal gue Fakhi. Gue merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi sosial yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Yuk baca dan cari lebih dalam tulisan-tulisan gue di Instagram @fakhirah.ir

Tulisan Ini Lahir Dari Tulisan Lainnya

https://fraternityman.com/toxic-femininity/

https://www.katykatikate.com/the-blog/2018/12/19/is-toxic-femininity-a-…

https://medium.com/s/story/toxic-femininity-is-a-thing-too-513088c6fcb3

https://www.hormona.io/toxic-femininity-exists-what-is-it-and-what-you-need-to-know/

McCann, H. (2020). Is there anything “toxic” about femininity? The rigid femininities that keep us locked in. Psychology & Sexuality, 1–14.

Snider, N. (2018). “ Why Didn’t She Walk Away?” Silence, Complicity, and the Subtle Force of Toxic femininity. Contemporary Psychoanalysis, 54(4), 763–777.

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet