Quarter Life Crisis Itu Wajar Nggak Sih?

klik.klas
15 min readMar 9, 2021

--

Photo by boram kim on Unsplash

Ini kisah Zahra. Minggu lalu Zahra menemukan buku harian dirinya yang Ia tulis saat berusia 17 tahun. Artinya, itu sekitar kelas dua SMA, saat Ia akan menjalani ujian nasional. Di samping tulisan-tulisan tentang kisah Cinta yang bertepuk sebelah tangan, marah dan kesal dengan teman, dan sebalnya dengan ujian matematika, Ia juga menemukan rencana-rencana dirinya di saat berusia 20–25 an. Dulu, Zahra remaja menulis ingin masuk jurusan komunikasi di perguruan tinggi ternama, meniti karir menjadi presenter, menikah dan bisa jalan-jalan ke berbagai tempat di usia 25 tahun-an.

Saat Zahra berusia 22 tahun awal. Ia baru saja menyelesaikan sidang skripsinya di jurusan komunikasi dari sebuah perguruan tinggi ternama setelah hampir saja tidak menyelesaikan studinya, serta tidak semua hal bisa semulus bayangannya di usia 17-an.

Hari ini, Zahra berusia hampir 24 tahun, bekerja seadanya di salah satu perusahaan koran daerah, single, ngos-ngosan membagi antara gaji untuk makan, tempat tinggal dan mengirim orang tua. Saat mengingat kehidupannya, kepala Zahra terasa pusing, rasa sesak menguasai dada Zahra, kelenjar keringat di telapak tangan mulai muncul. Tanda-tanda ini menandakan dimulainya serangan panik (anxiety attack) yang akan berlangsung hampir sepanjang hari.

Zahra telah menderita serangan kecemasan sejak tahun pertama Zahra lulus dari Universitas. Saat itu Ia merasakan mulai sangat panik begitu pada 2 bulan pertama tidak ada lowongan kerja yang kunjung menerimanya.

Awalnya, Ia pikir tiba-tiba mendapat serangan asma, atau kadang, Ia merasa jangan-jangan, Ia kena serangan jantung. Zahra kemudian memeriksakan diri ke dokter umum. Saat di dokter umum, Ia pikir masalah akan selesai dan berhenti pada pemeriksaan di poli umum. Ternyata, Zahra dirujuk ke Biro Psikiatri. Di sana, Ia direkomendasikan beberapa obat, salah satunya adalah obat penenang. Saat menebus obat tersebut, bukannya malah tenang, Ia malah semakin panik sebab Ia berpikir berarti Ia memiliki gangguan jiwa, artinya Ia tidak normal. Perasaan tidak normal makin membuat Ia sedih dan cemas. Ia bingung harus bagaimana dengan diagnosa dokter jiwa ini. Bagaimana jika atasannya tahu? Bagaimana jika teman-temannya tahu? Dan terutama, bagaimana jika keluarganya tahu? Semua pikiran ini semakin membuat kondisinya memburuk.

Secara umum, Zahra bisa berfungsi dengan baik tanpa obat. Ia bisa bekerja dengan baik dan bisa menikmati hal-hal kecil, seperti membaca komik web atau melihat komedi-komedi di YouTube. Tapi, saat Ia mendengar undangan temannya yang akan menikah, temannya mendapat beasiswa berkuliah di Luar Negeri, jalan-jalan ke tempat wisata atau mendapat pekerjaan di tempat bergengsi, berita itu bisa membuat Zahra langsung terserang panik.

Saat ini beberapa hubungan romantic Ia jalani, tetapi banyak di antaranya yang kandas. Sementara, undangan pernikahan teman-teman sebayanya mulai berdatangan. Pada sisi lain, Ia tidak betah dengan lingkungan kerjanya yang sekarang. Beberapa konflik dengan rekan kerja juga membuat Zahra ingin segera keluar. Tetapi, kalau Ia keluar kerja, nanti Ia tidak punya uang.

Semuanya jadi satu di kepala Zahra. Saat mulai terserang panik, Ia merasa membutuhkan obat penenang sesegera mungkin. Dan Zahra memutuskan kembali menenggak obat penenang.

***

Quarter Life Crisis

Photo by Christopher Ott on Unsplash

Apa yang dialami Zahra bisa jadi gejala quarter life crisis parah yang tidak terselamatkan dan akhirnya mengakibatkan gangguan kesehatan jiwa. Krisis seperempat kehidupan terwujud dalam diri Zahra yang ingin melarikan diri dari kondisi yang dialaminya; ingin terus memulai lagi; dan terus mencoba mengubur diri dalam segala hal yang akan mengalihkan perhatian Zahra dari realitas Zahra sendiri.

Namun, sebenarnya apa sih quarter life crisis itu? Mungkin Lo bertanya-tanya, atau mungkin sudah sering mendengar istilah ini, tapi kali ini ijinkan gue membahasnya sekali lagi.

Psikolog klinis Alex Fowke mendefinisikan quarter life crisis sebagai “periode ketidakamanan, keraguan, dan kekecewaan seputar karier, hubungan keluarga, pertemanan, romantis, dan situasi keuangan yang Lo alami di usia 20-an.”

Klikers, pada dasarnya, setiap tahapan perkembangan menyimpan tantangan krisisnya masing-masing. Erikson menjelaskan ini dalam teorinya yang terkenal disebut sebagai psychosocial crisis. Konsepnya, dalam setiap tahapan perkembangan ada titik-titik krisis yang akan menimpa kita dan itu akan terjadi sepanjang rentang kehidupan. Misalnya, pada saat bayi. Bayi akan mengembangkan sebuah krisis apakah orang tuanya bisa dipercaya atau tidak (trust versus mistrust). Apabila seorang bayi berhasil melewati tahapan ini, akan terjadi ikatan yang kuat pada bayi dengan pengasuhnya. Kalau tidak berhasil melewati tahapan ini, bayi akan lebih lekat kepada orang lain dibanding orang tua kandungnya.

Erikson bercerita bahwa setiap tahapan perkembangan, kita akan memasuki situasi dan kondisi yang berbeda dengan kondisi sebelumnya. Misal, coba Lo inget-inget lagi, Lo dulu grogi nggak pas mau masuk SMP atau masuk SMA? Gue jamin pasti grogi. Gue tanya lagi deh, berapa dari Lo yang pada minggu-minggu awal sekolah di sekolah baru, merasa cemas, takut untuk berekspresi, bingung harus nyapa temen yang mana dan segala perasaan campur aduk yang bikin Lo salah tingkah.

Analogi ini sama dengan kondisi quarter life crisis. Lo sebelumnya telah begitu terbiasa berada di dunia akademis yang serba terarah, teratur, dan penuh kepastian beda dengan dunia kerja yang begitu sebaliknya. Kok bisa?

Kenapa dunia akademis itu sangat terarah, teratur dan penuh kepastian? Bayangin aja, Lo sudah begitu terbiasanya memiliki jadwal kuliah, Lo sudah tahu goal besar Lo apa (yaitu lulus), Lo sudah tahu aturan mainnya (yaitu Lo harus berangkat kuliah pada pukul sekian dan sekian), Lo sudah tahu kalau mau dapet nilai bagus Lo harus apa (dengan silabus kuliah yang disajikan, ada kisi-kisi sampai penilaian). Lo sudah terbiasa terarah atau diarahkan. Terbiasa terkontrol dan dikontrol oleh sistem. Lo terbiasa diarahkan secara eksternal. External Locus of Control.

Tapi, kerasa nggak, kalau Lo mulai oleng begitu masuk saat-saat skripsi? Saat Lo harus memanajemen waktu Lo sendiri. Nggak ada jadwal mata kuliah pagi yang bikin Lo harus bangun pagi. Nggak ada lagi ngumpulin tugas deadline malam ini pukul 23.00. Nggak ada lagi dosen yang mewanti-wanti bahwa tugas harus terkumpul tepat waktu. Karena, saat ini Lo nggak ambil mata kuliah lain selain skripsi. Akhirnya hari-hari Lo sepenuhnya adalah tanggung jawab Lo. Internal Locus of Control.

Lo pasti akan merasakan kegelisahan, misal, bisa jadi ada sebagian dari Lo yang merasakan dunia semester akhir begitu menyiksa, karena Lo nggak seproduktif biasanya. Lo berjuang untuk membuat aturan pribadi, berjuang mematuhinya (yang ternyata sangat sulit disiplin dengan hansip diri sendiri) dan pada faktanya lebih mudah punya hansip eksternal semacam jadwal kuliah dan dosen yang galak dibandingkan jadwal pribadi dengan hansip diri sendiri. Penyesuaian ini pasti akan membawa kegelisahan.

Saat memasuki dunia kerja, Lo akan memegang kendali penuh terhadap diri Lo. Selain itu, nggak ada guidance yang sejelas saat kuliah, saat Lo memegang suatu pekerjaan di dunia nyata. Lo dipaksa untuk berteman dengan berbagai stimulus yang ambigu, berbagai aturan main yang nggak baku, berbagai hal yang sangat jauh berbeda dengan saat berkuliah. Saat kuliah Lo bisa dengan jelas memahami bahwa nilai A itu terdiri dari kehadiran maksimal, penugasan yang terpenuhi, dan lain-lain yang lebih jelas daripada di dunia kerja. Belum lagi suasana pertemanan yang nggak bisa kita kontrol. Di dunia kuliah, ketika Lo kurang senang dengan komunitas tertentu, Lo bisa aja cabut seenak hati Lo. Tapi di dunia kerja beda. Lo harus berdamai dengan lingkungan yang nggak bisa Lo kendalikan lagi.

Saat kuliah, Lo masih dianggap pelajar. Masyarakat masih memaklumi diri Lo jika berbuat salah. Sementara begitu keluar dari dunia kuliah, Lo langsung dianggap sebagai masyarakat biasa yang dewasa. Lo harus bisa bertanggung jawab atas seluruh hal yang menjadi kewajiban sosial seorang masyarakat biasa. Misalnya, tanggung jawab finansial atas diri Lo sendiri, tanggung jawab sosial kepada orang tua — misal memberi nafkah saat Lo bisa, dan berbagai hal lainnya yang begitu tiba-tiba, tentu membuat Lo oleng dan jetlag.

Adaptasi Selalu Membawa Ketidaknyamanan Psikologis

Photo by Alexander Krivitskiy on Unsplash

Klikers, sampai kapanpun kita hidup, kita akan menghadapi “krisis-krisis peran” dalam hidup kita dan itu nggak bisa dihindari.

Artinya, saat Lo merasa mengalami krisis seperempat abad alias quarter life crisis, pertama kali yang harus Lo sadari bahwa ini adalah problem penyesuaian diri terhadap peran baru yang akan Lo hadapi di dunia nyata. Lebih jauh, Lo harus berdamai dengan keadaan ini dan ini adalah keadaan yang wajar.

Besok, saat Lo menikah, gue yakin Lo akan ditempa krisis lainnya terkait peran baru Lo sebagai pasangan suami istri. Lo akan merasa “Apakah gue udah jadi pasangan yang baik? “ Lo juga akan merasakan kecemasan saat membanding-bandingkan diri dengan pasangan lain.

Belum lagi, saat pertama kali menjadi orang tua, baik Lo maupun pasangan akan kembali dihantam perasaan tidak yakin atas peran baru yang dihadapi. Pada masa ini, ada sebutan baby blues baik untuk ibu maupun ayah. Artinya, ada krisis adaptasi disertai dengan kecemasan yang parah pada saat menjadi orang tua baru.

Oke, mungkin sebagian dari Lo berpikir. Ah, kejauhan ngomongin pasangan dan menikah. Bagaimana dengan saat Lo sebagai mahasiswa baru. Pasti ada kegelisahan dan kecemasan gimana caranya beradaptasi dengan lingkungan baru, makanan dan bahasa yang berbeda dari daerah asal apabila merantau dan gaya belajar yang berbeda. Apalagi melihat alam kehidupan SMA dan kuliah yang begitu berbeda. Nggak ada guru yang dekat dengan Lo secara personal, dosen yang cuma mengajar dan nggak berusaha mendekati mahasiswanya secara personal. Semua terasa begitu baru dan membuat Lo tidak nyaman secara psikologis.

Ibarat Lo naik pesawat ke belahan dunia lain yang memiliki perbedaan waktu yang lebar, yang membuat malam Lo jadi siang, siang Lo jadi malam, mau nggak mau tubuh Lo akan mengalami jetlag. Sebuah kondisi tubuh yang terasa nggak enak, mual, pusing, karena tubuh kita mengalami perbedaan kebiasaan waktu di tempat baru.

Yang mau gue tekankan adalah, setiap dari kita yang memasuki peran dan lingkungan yang baru, pasti akan mengalami efek samping dari usaha penyesuaian diri. Peran baru apapun akan membawa Lo kepada perasaan nggak nyaman, karena melakukan penyesuaian diri emang butuh modal fisik dan psikis. Siapa sih yang nggak cemas kalau pindah rumah ke kota baru, atau siapa sih yang nggak cemas begitu masuk sekolah baru, atau siapa yang nggak cemas kalau berada di lingkungan baru. Gue rasa semuanya pasti akan mengalami kecemasan pada titik tertentu.

Quarter Life Crisis Seringkali Tidak Mendapat Pertolongan

Photo by Christiana Rivers on Unsplash

Remaja adalah masa penting dalam pengembangan kecenderungan gangguan mental atau nggak. Itu kata penelitian-penelitian mengenai kapan pertama kali gangguan mental paling sering muncul. Apabila seseorang sudah memiliki kecenderungan sejak kecil untuk mudah stress, mudah cemas dan berbagai pola asuh yang membuat kecenderungan itu makin buruk, diprediksi pada masa remaja akan mulai muncul dan semakin menguat.

Menariknya, quarter life crisis ini adalah krisis pertama dalam kehidupan yang mana individual pertama kali tidak mendapat pertolongan yang layak.

Gimana maksudnya?

Saat Lo mengalami krisis perkembangan saat balita yang mungkin Lo sudah lupa, bahwa saat kecil kita juga berjuang untuk melakukan toilet training, sebagai bagian penting dari krisis kemandirian. Balita sedang berhadapan dengan krisis kemandirian vs ketergantungan. Saat itu, Lo akan dibantu oleh orang tua untuk melalui tahapan krisis ini.

Begitu pula saat masuk sekolah di tingkat SD, SMP dan SMA. Orang tua setidaknya akan bertanya, “gimana sekolah kamu?” kalau ada apa-apa, ortu Lo akan datang ke guru Lo, mereka akan minta bantuan untuk memonitor Lo selama sekolah.

Saat masuk kuliah, meskipun sebagian besar dari Lo saat awal-awal kuliah kemungkinan bisa beradaptasi tanpa bantuan orang tua. Tapi, beberapa dari Lo masih ada yang orang tuanya menemani pada semester awal bahkan kalau ada apa-apa orang tua Lo masih bisa menghubungi pihak kampus. Pada saat adaptasi di dunia perkuliahan, orang tua masih bisa turun tangan.

Tapi, begitu memasuki masa lepas dari gelar mahasiswa. Lo kembali harus beradaptasi dengan kehidupan baru, sayangnya Lo tidak lagi dibantu secara layak sebagaimana masa adaptasi sebelumnya. Lo ‘merasa’ harus berjuang sendiri. Nggak ada lagi ortu yang bisa menghubungi bos Lo buat memonitor kehidupan. Nggak ada lagi guru atau dosen yang membantu Lo saat ada hal-hal yang kurang beres di dalam kehidupan. Nggak ada lagi temen-temen se-geng yang bisa menghibur seintens saat dulu di dunia kuliah, mereka mulai sibuk dengan beban kehidupan masing-masing.

Quarter Life Crisis akhirnya menjadi masa penyesuaian diri awal terberat dalam kehidupan Lo. Lo menghadapi lingkungan baru, teman baru, dan segala-galanya baru, sendirian. Support system Lo adalah diri Lo sendiri dan beberapa orang yang Lo percaya. Cara kerja yang nggak terstruktur sebagaimana saat di kampus juga bikin Lo kaget. Lo berjuang untuk mengatur jadwal Lo sendiri. Saat masalah di dunia kerja muncul, Lo nggak bisa langsung cerita ke sahabat-sahabat Lo. Sebab, meskipun Lo punya temen-temen lama yang Lo bisa percaya, kehidupan pasca kampus membuat Lo nggak bisa meminta mereka buat video call langsung saat Lo mau cerita, Lo butuh menunggu saat mereka luang, dan ini tentu membuat kegelisahan makin tinggi. Belum lagi, orang tua yang nggak mau tahu betapa susahnya Lo beradaptasi dengan kehidupan baru Lo, mereka meminta Lo perform seperti anak tetangga. Serta, belum lagi perbandingan diri ekstrim yang Lo lakukan dengan berbagai makhluk di dunia persosmedan. Semuanya jadi satu dan Lo hadapi sendirian.

Kesimpulannya, penelitian menunjukkan bahwa quarter life crisis adalah salah satu krisis perkembangan yang paling jarang mendapat pertolongan yang layak dari pengasuh dan professional.

Berapa Banyak yang Mengalaminya?

Photo by Fernando @cferdo on Unsplash

Kalau Lo merasa sendirian.

Percayalah, banyak orang yang mengalami hal serupa. Lo ga sendirian.

Gue belum menemukan penelitian di Indonesia yang menyebutkan prevalensi tepatnya (you know Indonesia emang jelek banget dalam data). Tapi, gue menengok ke negara lain, misalnya sebuah studi LinkedIn tahun lalu menemukan bahwa 72% anak muda Inggris pernah mengalami krisis seperempat kehidupan, dan 32,4% akan mengatakan bahwa mereka sedang mengalaminya. Darain Fawaz, penasihat karier di LinkedIn, menjabarkan bahwa rata-rata krisis terjadi pada usia 26 tahun sembilan bulan, dan berlangsung selama 11 bulan atau lebih. Pada beberapa penelitian lain, quarter life crisis bisa terjadi sejak masa kuliah.

Balik lagi ke cerita Zahra, supaya Zahra nggak merasa sendirian, gue sarankan Ia memposting cerita Instagram dan meminta siapa pun yang merasa mengalami gejala krisis seperempat abad ini untuk mengirimi Zahra pesan. Dalam satu jam kotak masuk Zahra penuh dengan pesan tulus dari teman-temannya yang mengatakan bahwa mereka juga merasa “tersesat”, “cemas” atau “tidak puas” selama setahun terakhir. Lo bisa melakukan hal serupa untuk membuktikan bahwa memang Lo nggak sendirian.

Zahra mulai sadar bahwa dia bukan satu-satunya orang yang mengalami kecemasan di usia-usia dua puluhan, tetapi memang sangat sulit untuk terbuka soal gejala ini. Sebab, stigma yang melekat bagi mereka yang mengakui bahwa mereka sedang merasa kebingungan yang sangat parah dan bahkan hingga mengganggu kesehatan mental mereka.

Misalnya, apa yang dialami Zahra. Dari luar Ia tampak sempurna. Zahra terlihat memiliki semuanya. Zahra sehat, dengan pekerjaan yang baik — dan bukan paruh waktu, teman dekat dan keluarga yang penyayang, namun Zahra merasa kebingungan dan merasakan bahwa pilihannya terasa selalu salah. Apabila Zahra mengatakan bahwa Ia merasa cemas dengan segala apa yang dimilikinya, bisa jadi Ia akan mendapat hujatan dari banyak pihak. Bisa jadi, banyak orang yang merasa bahwa Zahra yang udah mengejar pendidikan tinggi di kampus ternama sebenarnya tinggal mencari pekerjaan di daerah perkotaan dan semuanya akan terlihat mudah. Semua orang mungkin akan melihat bahwa Zahra yang sejak kuliah terlihat cukup berprestasi, berpendidikan akan mudah menyesuaikan diri dengan baik dengan segala apa yang dialaminya.

Cerita dari Dr James Arkell, seorang psikiater di London dan sering merawat kaum muda. Dia mengatakan bahwa dia selalu terkejut dengan harga diri anak muda yang rendah.

Katanya, “Betapa banyak klien saya yang cantik, berbakat dan terlihat memiliki segalanya, tetapi mereka ternyata nggak menyukai diri mereka sendiri dan merasa harus harus mengikuti standar yang tak henti-hentinya ini,”

Masalah-Masalah Lain yang Jadi Satu

Photo by Josh Appel on Unsplash

Dulu, pada usia 20 tahun, kakek nenek kita mungkin sudah mempunyai anak, sudah memiliki pekerjaan — misal petani atau pedagang — yang menandakan mereka sudah mandiri secara finansial. Selain itu, sudah bisa membangun sebuah rumah sederhana dibantu warga desa lainnya. Yang artinya mereka sudah bisa bertanggung jawab finansial secara penuh.

Tapi hari ini, usia 20 tahun, bisa memiliki rumah sendiri dan bertanggung jawab penuh secara finansial, adalah hal yang hampir jarang terjadi. Sebagian dari kita, saat berusia awal 20 an, masih bergantung penuh pada orang tua. Namun, tuntutan untuk mandiri di awal usia 20 an atau sudah bekerja secara penuh setelah keluar dari universitas, tetap sama.

Balik lagi ke temen gue Zahra. Ketika Zahra berbicara tentang perasaan insecure ini dengan orang tuanya, mereka nggak bisa memahami kenapa Zahra begitu cemas. Bukankah masalahnya mudah, tinggal cari pekerjaan saja?

Pilihan Begitu Banyak, Juga Menimbulkan Kecemasan

Photo by Fi Bell on Unsplash

Bagi orang tua kita dulu, bekerja itu artinya jika tidak jadi petani, maka jadi pedagang atau menjadi karyawan, serta menjadi militer. Pilihan karir yang sedikit tidak membuat generasi mereka memiliki banyak pilihan. Kabar baiknya, ini membuat mereka tidak kebingungan dalam memilih jenjang karir.

Tapi, hari ini, Lo dihadapkan berbagai jenis pilihan yang gue yakin membuat Lo sempat ragu dalam memutuskan karir apa yang akan Lo jalani. Misal kalau Lo berasal dari jurusan Psikologi, setelah lulus Lo akan dihadapkan pada dua cabang pilihan, bekerja atau sekolah lagi. Oke, kalau Lo sekolah lagi, Lo akan memilih di bidang apa, apakah Profesi artinya Lo menjadi Psikolog, atau Lo menjadi seorang ilmuwan Psikologi. Ini dua hal yang berbeda banget. Oke, kalau Lo mau jadi Psikolog, Lo mau jadi Psikolog industry, pendidikan, atau klinis? Kalau Lo ambil psikolog klinis, Lo mau mendalami bidang apa? Apakah klinis anak, remaja atau dewasa? Penyakitnya apa gangguan depresi, atau apa? Lo mau jadi spesialis apa?

Bayangin, untuk memilih satu hal, generasi usia 20-an dihadapkan begitu banyak pertanyaan. Begitu banyak pilihan karir. Lo harus memahami bahwa kita hidup di masa kontradiksi kebebasan pilihan yang ekstrim tapi dengan pengasuh yang kebanyakan bisa jadi tidak memahami hal ini. Kenyataan yang ada bersama dengan pola asuh yang tidak sesuai dengan kenyataan bisa menimbulkan kegelisahan-kegelisahan.

Tips Hadapai Quarter Life Crisis

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

Akhirnya, gue sampai pada tahap tips and trik. Sebab, gue yakin, sebagian besar dari Lo udah nggak sabar untuk tahu cara menghadapinya. Tapi, sayangnya gue mau Lo tahu dulu apa yang terjadi dalam hidup Lo.

Pertama, Pahami Sebaik-Baiknya Diri Lo Sendiri

Gue selalu mengatakan, memahami diri sendiri adalah setengah jalan untuk menyembuhkan diri. Pahami diri Lo dulu. Bisa mulai dari minat, bakat sampai kondisi emosi dan fisik diri Lo. Ini akan membantu Lo memetakan kehidupan Lo ke depan. Pilihan yang begitu banyak akan mulai terasa jelas arahnya, saat Lo punya peta diri yang jelas. Seenggaknya kalau Lo tahu diri Lo bagus berkarya dan kerja pada ranah-ranah yang berhubungan dengan orang, Lo akan mulai mengeliminasi hal-hal yang nggak cocok sama diri Lo.

Kedua, Kembangkan Growth Mindset

Saat Lo merasakan kegagalan dini di usia 20 tahunan. Saat Lo merasa kehidupan Lo nggak sesuai dengan harapan diri dan masyarakat. Pahami bahwa ketidak-fleksibelan adalah hal yang akan menyakiti diri Lo. Goal boleh baku, tapi cara harus fleksibel. Growth mindset itu artinya kita yakin diri kita bisa bertumbuh dalam keadaan apapun, kita bisa menghadapi tantangan apapun, karena kita bisa terus belajar untuk melakukan hal itu. Grow itu adalah simbol dari kita percaya diri bahwa kita bisa terus berkembang. Artinya, saat Lo merasa hidup Lo stuck, percayalah Lo tetap bisa bertumbuh meski dalam keadaan yang mentok itu. Lo bisa selalu belajar domain-domain baru yang dulu Lo kira Lo ga bagus di bidang itu. Terus kembangkan diri Lo. Sebagaimana tagline Klik.Klas, muda yang bertumbuh setiap hari.

Ketiga, Be Mindful

Mindful secara sederhana artinya be here and now. Menikmati dan bekerja sebaik-baiknya atas apa yang sedang kita kerjakan hari ini. Berikan waktu untuk tidak terganggu dengan bayangan masa depan. Berikan diri Lo sebuah ruang dimana Lo hanya ingin fokus dengan apa yang Lo hadapi. Kalau hari ini Lo harus mengerjakan revisi skripsi, lupakan masalah Lo besok mau kerja dimana, atau mau ngelanjutin kuliah S2 di mana. Fokus pada urusan revisi yang Lo punya. Batasi waktu kapan Lo harus memikirkan masa depan dan masa sekarang. Enjoy the moment.

Keempat, Mendekatlah pada Sang Pencipta

Percayalah, ada Tuhan yang Maha Pengasih. Saat Lo dirundung kesedihan, Dia tahu, Dia paham, Dia tidak jauh. Maka, cobalah mendekat kepadanya, berdoa sebanyak-banyaknya, minta dibukakan jalan yang terbaik bagi diri Lo.

Kelima, Cari Pertolongan

Tidak semua hal harus Lo hadapi sendirian. Meminta tolong bukan berarti Lo lemah. Jujur bukan berarti semua orang akan melihat Lo dengan penuh stigma. Saat hal quarter life crisis ga bisa Lo handle sendirian. Cari pertolongan segera.

Sepatah Kata dari Klik.Klas

Photo by Jennifer Griffin on Unsplash

Quarter life crisis adalah fenomena adaptasi menuju kedewasaan yang seringkali jarang mendapat pertolongan. Sehingga, jangan takut untuk mengakui dan mencari pertolongan yang tepat. Percayalah, Lo bisa melaluinya sebagaimana krisis-krisis perkembangan di masa-masa sebelumnya. Dan percayalah, krisis perkembangan akan selalu ada selama Lo hidup. Siap-siap aja menghadapi tahap selanjutnya. Yang harus kita kembangkan adalah kemampuan menerima dan bermain dengan krisis-krisis dalam hidup kita.

Semoga kita jadi pribadi yang #selalubertumbuh

Kunjungi Media Sosial Klik.Klas Lainnya

Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas

Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget! Langsung Klik di sini.

Tentang Penulis

Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A

Hai gue Fakhi. Gue merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi sosial yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Yuk baca dan cari lebih dalam tulisan-tulisan gue di Instagram @fakhirah.ir

Semua Ini Lo Bisa Baca Di…

Zarqan, I. A., Pamungkas, P. D., Syakarofath, N. A., & Hendriyani, C. BUILDING SELF-CONCEPT IN MILLENNIALS GENERATION BY REDUCING QUARTER-LIFE CRISIS. International Journal of Business and Management, 1, 3.

Chesbrough, R. D. (2011). Helping College Students Find Purpose: The Campus Guide to Meaning-Making. Journal of College Student Development, 52(4), 505–507.

Martin, L. (2017). Understanding the Quarter-Life Crisis in Community College Students (Doctoral dissertation, Regent University).

Berzoff, J. (2011). Psychosocial ego development: The theory of Erik Erikson. Inside out and outside in: Psychodynamic clinical theory and psychopathology in contemporary multicultural contexts, 97–118.

Rossi, N. E., & Mebert, C. J. (2011). Does a quarterlife crisis exist?. The Journal of genetic psychology, 172(2), 141–161.

Stapleton, A. (2012). Coaching Clients through the Quarter-Life Crisis: What works?. International Journal of Evidence Based Coaching & Mentoring.

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet