Memaafkan Bukan Berarti Lo Kalah, Sebaliknya Lo Menang

klik.klas
8 min readMay 11, 2021

--

Photo by Gus Moretta on Unsplash

Dalam hidup, kita bisa aja menyimpan banyak kemarahan dan kekecewaan. Entah rasa marah kepada hal-hal yang tidak berjalan sesuai keinginan kita. Rasa kecewa karena perilaku orang lain yang menyakitkan. Berbagai rasa yang berkumpul menjadi satu, membuat diri dan jiwa kita terus dalam rasa sakit yang begitu besar. Meskipun rasa sakit disakiti begitu besar dan rasa marah kita belum reda, sebenarnya selalu ada cara untuk membiarkan rasa perih karena disakiti orang lain ini pergi. Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan cara memaafkan.

Hidup nggak selalu memberikan rasa yang menyenangkan untuk kita, kadang kita diberi hadiah-hadiah berupa berbagai pengalaman yang kurang menyenangkan, tidak sesuai harapan dan berbagai kejadian yang begitu menyakitkan. Kita nggak bisa memilih kapan kita terjatuh dan terjungkal, kita nggak bisa memilih orang yang kita temui akan menyakiti atau menjaga kita.

Tapi, di sisi lain, kita bisa memutuskan mau terpenjara rasa sakit untuk selamanya atau membebaskan diri rasa perihnya disakiti oleh orang lain itu. Kita bisa mulai belajar memaafkan apa-apa yang memberi kita rasa sakit. Karena, dalam sudut pandang apapun memaafkan punya efek pembebasan yang tidak akan pernah kita dapatkan dari hal lain. Memaafkan mempunyai efek yang membuat kita lebih kuat dan bahagia.

Ini juga dibuktikan oleh berbagai penelitian ilmiah. Secara umum, mengurangi emosi negative, seperti marah dan menyalahkan orang lain, akan membuat jantung kita lebih sehat (Tennen & Affleck, 1990; Miller, Smith, Turner, Guijarro, & Hallet, 1996).

Nggak hanya sehat fisik, tetapi memaafkan juga bisa berperan sangat untuk membuat kita jadi pribadi yang bertumbuh setiap hari, melatih pandangan hidup yang lebih positif dan membuat hubungan kita dengan orang lain jadi lebih baik. Sekali lagi, ini bukan hanya omong kosong, karena berbagai penelitian, salah satunya milik Luskin (2003) melaporkan bahwa manfaat dari berlatih memaafkan adalah membuat hidup kita lebih optimis, rasa percaya diri kita meningkat, kita merasa lebih empati, membuat stress kita berkurang karena kita berlepas diri dari emosi negative yang terus kita simpan, dan kita bisa jadi lebih dekat dengan Tuhan, karena dalam segala prosesnya kita minta kekuatan sama Zat yang lebih dari kita.

Memaafkan sekali lagi bukanlah hal yang akan membuat Lo kalah dan terpuruk. Malah, dengan memaafkan Lo akan menemukan pembebasan diri yang membuat hidup Lo lebih baik jiwa dan raga. Lebih puas secara batin dan sosial.

Apakah Memaafkan Itu Mudah?

Photo by Morteza Yousefi on Unsplash

Tapi, tunggu, gue tahu pertanyaan Lo selanjutnya adalah “Emang memaafkan orang lain itu gampang?”

“Emang memaafkan orang yang menyakiti kita terus menerus itu semudah ngedipin mata dan semua rasa sakit akan hilang?”

“Emang gampang apa, memaafkan orang yang menipu Lo, mengkhianati, bahkan merugikan Lo secara finansial?”

“Emang gampang apa senyum sama orang yang berbuat salah sama Lo dan dia nggak merasa bersalah sama sekali?”

“Emang gampang apa, memaafkan orang yang ketika Lo duluan yang minta maaf malah dia makin songong dan merasa di atas angin?”

“Nggak gampaang, Fergusooo,”

Iyaa, gue tahu. Gue sangat tahu. Dan, gue nggak bilang proses memaafkan adalah proses perubahan yang sekejap mata Lo langsung lupa semua rasa sakit yang ada di dalam batin lho.

Pada faktanya derajat kemudahannya sangat subjektif. Jawabannya tergantung dari peristiwa apa yang terjadi dan seberapa berdampak peristiwa tersebut pada kita, serta bagaimana kita mengelola persepsi kita.

Fakta psikologis lainnya, meskipun proses memaafkan meski hanya terdiri dari satu kata. Dalam proses memaafkan ternyata melibatkan begitu banyak tahapan dan keterampilan. Apa maksudnya beberapa keterampilan? Memaafkan bukanlah satu keterampilan memaafkan semata, tetapi gabungan beberapa keterampilan, termasuk beberapa di antaranya adalah proses penerimaan, perubahan sudut pandang, regulasi emosi, empati dan tanggung jawab.

Coba kita bahas satu-satu.

Pertama, Penerimaan

Photo by Sam Carter on Unsplash

“Ih, ogah gua kalau menerima apa yang dia lakukan ke gue, artinya gue mau gitu ditindas, gue lemah, dan gue gampang dikibulin? Sorry, deh. Gue nggak mau menerima begitu aja apa yang dia lakuin ke gue,”

Pernah membatin hal serupa?

Kalau iya, ya sama. Siapa sih yang di sini nggak pernah merasa sakit hati, minimal sekali seumur hidup.

Tapi, sampai tahap ini. Ada persepsi yang kurang tepat terhadap proses penerimaan ini. Selama ini, penerimaan sering dianggap sebagai pentuk kekalahan, diam artinya kita lemah dan nggak berdaya, nggak membalas artinya kita penakut. Klikers, itu persepsi umum yang nggak selalu tepat. Penerimaan diri, kenyataan dan emosi yang Lo rasakan bukanlah tentang kekalahan atau rasa takut. Proses penerimaan ini malah membutuhkan keberanian untuk melawan segenap hawa nafsu kita untuk melawan dan mendendam. Proses ini adalah pertarungan batin yang harus Lo menangkan yaitu membiarkan apa yang sebenarnya bisa saja kita jadikan bahan untuk membalas tidak pernah menjadi balasan selain sebuah kerelaan.

Dalam proses lainnya, untuk memaafkan, Lo harus menerima masa lalu. Itu nggak berarti Lo menyukainya atau bahwa Lo memiliki kemampuan untuk melepaska diri dari itu semua. Dan saat Lo sudah mampu menerima apa yang terjadi, mampu menahan diri dari dendam yang tak berarti, mampu untuk melepaskan segalanya dan menggantinya dengan penerimaan dan kerelaan.

Selamat, Lo sudah memulai tahapan penting dari pembebasan diri Lo dari belenggu rasa sakit. Dan, selamat datang di dunia baru, dunia yang kita lihat dengan lebih tenang dan damai.

Kedua, Regulasi Emosi

Photo by Warren Wong on Unsplash

Adakah dari Lo yang begitu disakiti rasanya ingin balas menyakiti?

“Biar tahu rasa min. Emang enak digituin. Biar tahu gimana sakitnya gue pas dikhianatin,”

Ada yang punya pengalaman serupa?

Jika iya, apa yang Lo rasakan wajar dan manusiawi. Seperti rasa ingin memberi tahu ke orang lain betapa sakit hatinya Lo, betapa nggak enaknya diperlakukan begini dan begitu, dan berbagai kecamuk rasa lainnya yang Lo pengen balaskan ke orang itu.

Tapi, saat Lo memutuskan untuk memaafkan semua itu, menerima apa yang terjadi dan menahan diri dari menindak lanjuti dorongan emosional Lo. Lo sedang mengembangkan keterampilan selanjutnya, yaitu regulasi emosi.

Regulasi emosio membantu Lo mengelola gejolak dan dorongan emosi untuk menghindari pembajakan yang teradi di area amigdala Lo, bagian otak yang bertanggung jawab untuk memulai reaksi melawan saat Lo merasa ada ancaman.

Penelitian telah menunjukkan bahwa Lo nggak dapat menekan emosi negatif. Lalu gimana caranya mengelola emosi itu, salah satunya dengan cara memahami emosi apa yang Lo rasakan, identifikasi, dan alihkan dengan hal lain.

Ketiga, Mengubah Sudut Pandang

Photo by Daniel Mingook Kim on Unsplash

Sudut pandang akan berubah saat Lo memutuskan untuk memulai proses memaafkan ini. Perubahan sudut pandang ini dapat membantu Lo mundur sejenak, mengamati pikiran, perasaan, dan reaksi tubuh yang Lo alami.

Mengapa sudut pandang kita berubah saat memutuskan untuk menjalani proses ini? Sebab, kita nggak akan lagi terlalu memfokuskan diri terhadap rasa sakit, kecewa, marah, kesal dan lain-lain. Sebab, dengan memaafkan kita akan mencoba lebih mengapresiasi hal-hal positif yang ada di sekitar kita. Melihat dunia bukan lagi dari rasa sakit. Melihat dunia bukan lagi dari belenggu-belenggu emosi negatif.

Keempat, Empati

Photo by Taylor Smith on Unsplash

Empati dan kasih sayang membantu Lo merasakan apa yang dialami orang lain dan bisa sangat membantu dalam perjalanan memaafkan. Meskipun empati sangat kuat dalam memahami rasa sakit orang lain, kasih sayang Lo terhadap mereka dan diri Lo sendiri, akan mendorong Lo untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengurangi rasa sakit kedua belah pihak. Kenapa rasa sakit kedua belah pihak akan sangat berkurang saat Lo memutuskan untuk memaafkan segala apa yang terjadi? Sebab, apapun yang terjadi, saat belum ada saling memaafkan di antara beberapa pihak, yang sedang merasa sakit adalah semua pihak tersebut. Artinya, dengan memaafkan, Lo akan memberi banyak kasih sayang kepada diri Lo sendiri dan juga kepada orang lain.

Kelima, Tanggung Jawab

Photo by Fuu J on Unsplash

Proses memaafkan pada akhirnya menuntut kita untuk berani bertanggungjawab. Lo adalah orang yang bertanggungjawab atas diri Lo sendiri. Artinya, berhentilah merasa bahwa orang lain yang bertanggungjawab atas rasa sakit kita. Sekali lagi, meskipun bisa jadi benar orang lain yang membuat kita terpuruk, tapi kita sekali lagi bisa memilih apakah akan terus terpenjara atau membebaskan diri.

Daripada bereaksi dengan ketakutan, melarikan diri, atau menyangkal bahwa Lo memiliki kuasa atas apa yang terjadi, Lo harus mengambil tindakan untuk menghindari perilaku berbahaya yang berulang. Segera ambil Langkah tegas saat Lo merasa perasaan negative mulai menggerogoti diri Lo sendiri. Dalam konteks ini, saat Lo merasa terus menerus dihantui oleh bayangan-bayangan kejadian masa lalu yang menyakitkan, Lo harus segera mengambil tindakan tegas supaya Lo bisa mengeluarkan semua bayangan-bayangan itu. Lo bertanggungjawab atas hidup Lo sendiri.

Memaafkan adalah Proses Kemenangan

Photo by Ameer Basheer on Unsplash

Kita yang paling dulu bisa merelakan dan mengikhlaskan sebenarnya adalah mereka yang menang. Sebab, kita bisa membebaskan diri dari segala belenggu emosi negative yang menghalangi kita berkembang. Kita membebaskan kebahagiaan kita dari ketergantungan dari apa yang orang lain lakukan kepada kita. Kita menjadi independent dan perilaku orang lain tidak berdampak lama dan panjang terhadap diri kita. Memaafkan sekali lagi bukan tanda kita akan kalah, melainkan sebuah jalan mencapai kemenangan yang membebaskan.

Sepatah Kata dari KlikKlas

Memaafkan bukan proses yang mudah. Kecepatannya sangat bergantung diri masing-masing. Proses memaafkan adalah proses panjang yang melibatkan beberapa tahapan yang masing-masing tahapannya pun ternyata juga perlu waktu yang panjang. Klikers, nggak ada yang bilang memaafkan itu mudah. So, ambil waktumu untuk berproses, jangan bandingkan sama orang lain. Yang penting adalah kita mau mencoba untuk melepaskan apa yang terjadi. Karena memaafkan adalah salah satu proses pembebasan diri.

Kunjungi Media Sosial Klik.Klas Lainnya

Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas. Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget! Klik di sini.

Tentang Penulis

Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A

Salam kenal gue Fakhi. Gue merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi sosial yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Yuk baca dan cari lebih dalam tulisan-tulisan gue di Instagram @fakhirah.ir

Tulisan Ini Lahir Dari Tulisan Lainnya

Joseph, S. (2013). What doesn’t kill us: A guide to overcoming adversity and moving forward. London, UK: Piatkus.

Kornfield, J. (2008). The art of forgiveness, lovingkindness and peace, Illustrated ed. New York, NY: Bantam.

Luskin, F. (2003). Forgive for good. New York, NY: HarperOne.

McCullough, M. E., Root, L. M., Tabak, B. A., & Van Oyen Witvliet, C. (2020). Forgiveness. In C. R. Snyder & S. J. Lopez (Eds.), The Oxford handbook of positive psychology (pp. 427–435). New York, NY: Oxford University Press.

Miller, T. Q., Smith, T. W., Turner, C. W., Guijarro, M. L., & Hallet, A. J. (1996). A meta-analytic review of research on hostility and physical health. Psychological Bulletin, 119(2), 322–348.

Shapiro, S. L. (2020). Rewire your mind: Discover the science + practice of mindfulness. London, UK: Aster.

Tennen, H., & Affleck, G. (1990). Blaming others for threatening events. Psychological Bulletin, 108(2), 209–232.

Van Oyen Witvliet, C., Ludwig, T. E., & Laan, K. L. (2001). Granting forgiveness or harboring grudges: Implications for emotion, physiology, and health. Psychological Science, 12(2), 117–123.

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet