Lo Belanja Biasa atau Kecanduan?

klik.klas
9 min readMar 3, 2021

--

Hai Klikers, siapa di sini yang gatel tangannya untuk mencet tombol “buy now” di berbagai platform belanja online? Atau, siapa di sini yang ketika badmood, pengennya belanja ini itu, supaya happy lagii?

Photo by freestocks on Unsplash

**

Lo mungkin kenal sama istilah shopaholic, shopping-addict, atau kalau dalam bahasa disebut kecanduan belanja. Ada juga sebutan oniomania (belanja kompulsif) yang kalau di Psikologi perilaku kecanduan belanja dikategorikan bersama dengan perilaku-perilaku impulsif lainnya. Sayangnya, kecanduan belanja ini sulit dideteksi. Kenapa? Karena kecanduan belanja tanpa Lo sadari adalah kecanduan yang paling diterima secara sosial. Coba pikirkan. Lo dikelilingi oleh iklan yang memberitahu Lo bahwa membeli akan membuat Lo bahagia. Lo didorong oleh para politisi dan ahli ekonomi untuk berbelanja sebagai cara untuk meningkatkan ekonomi. Juga, bagi sebagian dari kita, ada juga keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain. Konsumerisme, disebabkan diri Lo sendiri, atau karena ada dorongan eksternal, atau bisa jadi kombinasi kedua-duanya, telah Lo anggap biasa saja dan bukan sesuatu yang aneh.

Apa sih kecanduan belanja itu? Secara sederhana, kecanduan belanja adalah kecanduan yang bercirikan pembelian kompulsif sebagai cara untuk merasa nyaman dan menghindari perasaan negatif, seperti kecemasan dan depresi. Seperti perilaku kecanduan lainnya, kecanduan belanja dapat menyabotase area lain dalam hidup Lo dan menimbulkan masalah yang lebih besar jika nggak dikontrol.

Kapan terjadi? Para ahli masih terus meneliti kemunculannya pada rentang usia berapa saja. Tapi, kecanduan belanja biasanya muncul pada saat seseorang sudah mulai dapat mengakses sumber daya finansial, seperti pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa. Selain itu, kecanduan belanja sering kali terjadi bersamaan dengan gangguan lain, termasuk gangguan suasana hati dan kecemasan, gangguan penggunaan zat adiktif lainnya seperti alkohol, gangguan makan, gangguan kontrol diri lainnya, dan bisa juga bersamaan dengan gangguan kepribadian. Kemudian, beberapa orang mulai mengalami kecanduan belanja, karena Lo menjadikan belanja sebagai cara untuk meningkatkan harga diri.

Hal yang Perlu Kamu Tahu Tentang Kecanduan Belanja

Photo by Karsten Winegeart on Unsplash

Meskipun sejak masuknya platform belanja online dan mulai makin banyak kajian soal konsumerisme, tapiii… kecanduan belanja bukanlah gangguan baru. Gangguan belanja ini sudah dikenali sejak awal abad kesembilan belas dan disebut sebagai gangguan kejiwaan di awal abad 20-an. Seperti kecanduan lainnya, semisal kecanduan alkohol, game, judi dan lain-lain, kecanduan belanja seringkali merupakan cara untuk mengatasi rasa sakit emosional dan kesulitan hidup, dan cenderung memperburuk keadaan daripada membuat keadaan jadi lebih baik bagi pembelanja. Artinya, mungkin beberapa dari kita ingin merasa lebih baik setelah berbelanja pada saat suasana hati lagi negatif. Tapi, sebenarnya setelah belanja, perasaan negatif masih ada dan bisa jadi makin menguat. Terlepas dari sejarahnya yang panjang, kecanduan belanja masih kontroversial. Para ahli serta masyarakat, nggak setuju apakah kecanduan belanja adalah bener-bener sebuah kecanduan yang perlu dimasukkan sebagai gangguan. Tapi, saat belanja menjadi perilaku impulsif yang mengganggu fungsi hidup kita, hal ini perlu jadi warning buat Lo.

Sebab, sekali lagi Klikers, kalau Lo termasuk orang yang berjuang melawan kecanduan belanja, biasanya Lo akan menghabiskan lebih banyak waktu dan uang untuk berbelanja, parahnya Lo belanja lebih dari kemampuan finansial Lo dan banyak yang mengalami masalah keuangan karena pengeluaran Lo yang berlebihan. Meskipun setelah itu ada rasa bahagia, orang yang kecanduan belanja sering kali merasa hampa dan nggak puas dengan pembelian yang dilakukan. Setelahnya, ada penyesalan yang sangat mendalam.

**

Apakah Ini Belanja Biasa atau Kecanduan?

Photo by Charles Deluvio on Unsplash

Klikers, jadi apa perbedaan antara belanja biasa, belanja sesekali, dan kecanduan belanja? Seperti halnya semua kecanduan, yang membedakan kecanduan berbelanja dari jenis belanja lainnya adalah bahwa perilaku tersebut menjadi cara utama Lo untuk mengatasi stres, hingga Lo terus berbelanja secara berlebihan, bahkan ketika hal itu jelas berdampak negatif pada area lain dalam kehidupan Lo.

Karakteristik lainnya adalah fungsi hidup Lo akan banyak terganggu, misalnya masalah Lo akan makin banyak terutama yang berkaitan sama keuangan Lo, dan hubungan Lo dengan orang lain bisa jadi makin rusak, misal hubungan Lo sama orangtua, saudara, atau pasangan. Namun meskipun Lo sadar masalah Lo makin banyak karena perilaku belanja yang nggak terkontrol ini, Lo yang kecanduan belanja merasa nggak dapat menghentikan atau bahkan mengontrol pengeluaran yang Lo lakukan.

Kesulitan dalam mengontrol keinginan belanja ini muncul dari pola kepribadian yang dimiliki oleh para shopaholics, dan yang membedakan mereka dari kebanyakan orang lainnya adalah seringkali juga memiliki harga diri yang rendah. Maksudnya gimana? Gini… Harga diri yang rendah dapat membuat Lo mudah dipengaruhi, juga kadang sering merasa nggak berharga, kesepian dan terisolasi. Nah, berbelanja memberi Lo alasan untuk menaikkan harga diri Lo.

Orang dengan kecanduan belanja dan harga diri rendah biasanya mencoba menopang harga diri dengan mencari status melalui objek material dan mencari persetujuan dari orang lain. Misal, saat Lo merasa bahwa Lo adalah orang yang keren hanya setelah Lo punya barang-barang yang Lo beli. Lo merasa kalau Lo punya semakin banyak barang, Lo bisa makin percaya diri. Lo merasa bahwa nggak punya barang-barang yang banyak, bisa membuat Lo terlihat bukan siapa-siapa. Akibatnya, Lo lebih rentan terhadap iklan yang mengelilingi Lo setiap hari. Lo rentan menggantungkan harga diri Lo kepada barang-barang yang Lo beli.

Resah jika tidak melakukan aktivitas belanja juga bisa jadi indikator penting dalam kecanduan belanja ini. Seperti halnya kecanduan hal-hal lain, orang yang berbelanja berlebihan menjadi sibuk dengan belanja (alias mikirin belanja mulu) dan mencurahkan banyak waktu dan uang untuk aktivitas tersebut. Hal ini seperti kalau kecanduan main gadget, rasanya resah kalau harus terpisah sama gadget.

Tapi kalau cuma lihat-lihat, alias window shopping, apakah termasuk kecanduan belanja? Oh, lihat-lihat doang bukan merupakan kecanduan, dan pola kecanduan harus didorong oleh proses pengeluaran uang. Jadi, kalau nggak ada uang yang keluar dari kocek Lo karena Lo Cuma scroll platform belanja, simpan di keranjang, dan Cuma gitu aja. Itu belum masuk kecanduan.

Seperti halnya kecanduan lainnya, kecanduan berbelanja sangat membuat Lo membutuhkan segala hal yang berkaitan dengan belanja, seperti, secara terus menerus akan merencanakan perjalanan belanja. Selain itu, berbelanjanya itu sendiri, sering kali dibayangkan sebagai sebuah aktivitas menyenangkan, memberikan kelegaan dari perasaan negatif, dan menghibur. Tapi, setelah selesai, tiba-tiba ada perasaan kecewa yang teramat sangat, terutama pada dirinya sendiri. Apalagi, barang-barang yang dibeli selama belanja seringkali hanya ditimbun nggak terpakai. Barang sebelumnya belum terpakai aja mereka udah mulai merencanakan belanja berikutnya. Selain itu, mereka juga kebanyakan berbelanja sendirian, sebab berbelanja dengan orang yang nggak memiliki antusiasme berbelanja seperti mereka akan menimbulkan rasa malu.

Terapi Belanja? Benar atau Salah?

Photo by Lucrezia Carnelos on Unsplash

Pernah nggak sih Lo kalau badmood, Lo rasanya pengen menghadiahi diri Lo dengan barang-barang baru supaya mood negatif yang Lo alami sedikit berkurang? Nah, kecenderungan untuk menghibur diri sendiri dengan belanja, disebut oleh banyak orang dengan Terapi Belanja.

“Gua shopping dulu yaa biar happy,” Nah, sejenis yang kayak gini. Tapi, bukan sekali dua kali, tapi hampir kayak minum obat yang kalau nggak dilakukan Lo bakal gelisah, cemas, dan “Sakaw” merasa perlu segera belanja sekarang juga.

Terapi belanja ini emang bikin salah kaprah. Sebab, terapi belanja mengesankan bahwa Lo bisa mendapatkan manfaat yang sama seperti Lo pergi konseling atau pergi terapi ke para ahli, hanya dengan berbelanja. Well, ini adalah gagasan yang salah dan nggak membantu Lo untuk menyelesaikan masalah yang sedang Lo hadapi. Dengan justifikasi bahwa belanja bisa bikin Lo happy dan seefektif pergi ke konselor, banyak banget para pecinta belanja secara aktif emang membuat waktu khusus untuk berbelanja hanya sebagai cara untuk mengatasi perasaan negatif. Apalagi, biasanya, barang-barang yang dibeli ketika melakukan terapi belanja ini kebanyakan emang bukan bener-bener diperlukan. Bisa jadi, setelah belanja, barang itu hanya teronggok dan tidak tersentuh sama sekali. Karena lagi-lagi, pecandu belanja sudah merencanakan atau bahkan membeli barang lain.

Cara Mengatasi Kecanduan Belanja

Photo by Tamanna Rumee on Unsplash

Klikers, menjadi muda yang selalu bertumbuh setiap hari, penting banget kemampuan regulasi diri, termasuk dalam sektor finansial. Setelah tadi kita udah ngomongin apa sih bedanya kecanduan sama emang butuh belanja. Sekarang, kalau ada dari Lo yang memang merasa mulai ketagihan, Lo bisa mulai mempertimbangkan beberapa cara berikut untuk membuat diri Lo waspada atau bahkan berubah ke arah yang lebih baik.

Pertama, Isi Waktu Senggang Dengan Cara Lain

Gue tahu saat Lo sudah sangat terbiasa untuk melakukan sesuatu mengubahnya akan sangat sulit, termasuk kecanduan belanja ini. Nah, coba deh alihkan diri Lo dengan hal lain. Misal, ketika Lo mulai pengen banget berbelanja Lo bisa melakukan hal lain, seperti hangout bareng temen daripada Lo scroll aplikasi belanja. Bisa mungkin Lo nonton, atau hal lainnya bisa ngedistrak Lo.

Kedua, Urusan Belanja Serahkan Pada Orang Lain

Kalau Lo emang nggak percaya sama diri Lo sendiri. Lo bisa bekerjasama dengan orang lain, misal keluarga Lo, supaya dapat mengambil tanggung jawab untuk berbelanja kebutuhan pokok, seperti makanan dan barang-barang rumah tangga. Jadi Lo nggak akan ada celah untuk mengakses sumber daya keuangan yang berlebihan tanpa sepengetahuan orang lain. Jadi, saran gue Lo sebaiknya mewakilkan urusan belanja ini sama mereka. Lo bisa juga mencoba untuk nggak pegang uang dan meminta orang lain untuk mengelola rekening Lo. Tentu saja, orang yang Lo percaya. Selain itu, jangan top up secara impulsive ke akun belanja online, cukup miliki saldo yang cukup.

Ketiga, Cari Tahu Masalah Emosional yang Lo Alami

Klikers, gua nggak bosen-bosennya gue ngomong bahwa untuk memecahkan sebuah masalah. Kita perlu paham banget akar masalah dari perilaku kita. Nah, dengan memahami akar masalah emosional yang Lo alami, yang menyebabkan Lo kecanduan belanja, serta menemukan cara untuk mengatasi kecenderungan Lo menggunakan belanja untuk mengatasi permasalah Lo, adalah aspek penting untuk sembuh dari kondisi kecanduan ini.

Misal, kalau Lo berbelanja impulsif karena merasakan masalah psikologis pada hubungan romantis yang Lo miliki. Nah, Lo bisa mencari support system dari orang-orang lain selain si dia, untuk menjadi dukungan sosial dan emosional dari masalah yang Lo hadapi. Selain itu, menyelesaikan masalah utama juga bisa menghindarkan Lo untuk terus menerus kabur dari masalah dengan berlindung di balik perilaku belanja impulsif.

Atau kalau Lo merasa bahwa diri Lo kurang percaya diri, sehingga Lo berlindung di balik barang-barang untuk lebih percaya diri. Maka, perlu fokus untuk menyelesaikan masalah percaya diri ini terlebih dahulu.

Sepatah Kata Dari Klik.Klas

Photo by Tamanna Rumee on Unsplash

Klikers, kecanduan belanja bisa sama menyusahkannya seperti kecanduan lainnya. Namun masih ada harapan. Gue yakin niat yang kuang dan dukungan dari orang-orang di sekitar Lo yang secara tulus menyayangi Lo dapat membantu Lo untuk mengontrol pengeluaran Lo. Selain itu, kalau Lo merasa belanja merupakan cara terselubung untuk meningkatkan harga diri Lo. Ingat, Lo adalah orang yang berharga, nggak peduli seberapa banyak atau sedikit yang Lo miliki, Lo adalah orang yang berharga. Lo sama berpotensinya untuk tumbuh dan dicintai apa adanya, tanpa barang-barang yang berlebihan.

Semoga bermanfaat!

Kunjungi Media Sosial Klik.Klas Lainnya

Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas

Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget!

Penulis

Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A

Fakhi merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi sosial yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Tahu lebih dalam tulisan lainnya di @fakhirah.ir

Sumber Bacaan

  1. Koran, LM, Faber, RJ, Aboujaoude, E, Large, MD, Serpe, RT. Estimated prevalence of compulsive buying behavior in the United States. Am J Psychiatry. 2006;163(10):1806–1812. doi:10.1176/ajp.2006.163.10.1806
  2. Zhang, C, Brook, JS, Leukefeld, CG, Brook, DW. Associations between compulsive buying and substance dependence/abuse, major depressive episode, and generalized anxiety disorder among men and women. J Addict Dis. 2016;35(4):298–304. doi:10.1080/10550887.2016.1177809
  3. Black, DW. A review of compulsive buying disorder. World Psychiatry. 2007;6(1):14–18. PMID:17342214
  4. Müller A, Brand M, Claes L, et al. Buying-shopping disorder-is there enough evidence to support its inclusion in ICD-11?. CNS Spectr. 2019;24(4):374–379. doi:10.1017/S1092852918001323
  5. Tavares H, Lobo D, Fuentes D, Black D. Compulsive Buying Disorder: A Review and a Case Vignette. Rev Bras Psiquiatr. 2008;30(Suppl 1):S16–23.
  6. Grüsser SM, Thalemann C, Albrecht U. [Excessive compulsive buying or “behavioral addiction”? A case study]. Wien Klin Wochenschr. 2004;116(5–6):201–4. doi:10.1007/bf03040488
  7. Zhang, C Brook, JS, Leukefeld, CG, De La Rosa, M, Brook, DW. Compulsive buying and quality of life: An estimate of the monetary cost of compulsive buying among adults in early midlife. Psychiatry Res. 2017;252:208–214. doi:10.1016/j.psychres.2017.03.007
  8. Babić R, Babić D, Martinac M, et al. Addictions without Drugs: Contemporary Addictions or Way of Life?. Psychiatr Danub. 2018;30(Suppl 6):371–379. PMID: 30235175
  9. Lawrence LM, Ciorciari J, Kyrios M. Relationships that compulsive buying has with addiction, obsessive-compulsiveness, hoarding, and depression. Compr Psychiatry. 2014;55(5):1137–45. doi:10.1016/j.comppsych.2014.03.005
  10. Black DW. Compulsive buying disorder: a review of the evidence. CNS Spectr. 2007;12(2):124–32. doi:10.1017/s1092852900020630
  11. Hague B, Hall J, Kellett S. Treatments for compulsive buying: A systematic review of the quality, effectiveness and progression of the outcome evidence. J Behav Addict. 2016;5(3):379–94. doi:10.1556/2006.5.2016.064
  12. Christenson G, Faber R, de Zwaan M, Raymond N, Specker S, Ekern M, Mackenzie T, Crosby R, Crow S, Eckert E, et al. “Compulsive buying: descriptive characteristics and psychiatric comorbidity.” J Clin Psychiatry.55(1):5–11. Jan 1994.
  13. Lejoyeux, M.D., Ph.D., M., Ades, M.D., J., Tassain, Ph.D., V. & Solomon, Ph.D., J. “Phenomenology and psychopathology of uncontrolled buying.” Am J Psychiatry, 153:1524–1529. 1996.
  14. Mueller A, de Zwaan M. “Treatment of compulsive buying.” Fortschr Neurol Psychiatr. 76:478–83. Aug 2008.

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet