Kita Itu Makhluk yang Irasional, Apalagi Kalau Belanja

klik.klas
11 min readMar 10, 2021

--

Apakah Lo selalu rasional dalam menentukan segala sesuatu?

Photo by Ugur Peker on Unsplash

Pada suatu hari, temen gue makan sendirian ke salah satu gerai makanan cepat saji di sebuah mall. Long story short, temen gue ini mau mecahin uang, biar dapat uang lima ribuan buat parkir. Nah, dia memutuskan untuk beli satu lagi buat dibawa pulang. Harga makanan itu untuk paket nasi dan ayam untuk porsi single seharga Rp15.000. Temen gue akhirnya nyiapin uang dua puluh ribu. Kita tanya, kenapa kok pilih yang harganya lima belas ribu, dia menjawab karena uang kembalian lima ribuannya, mau dipakai buat bayar parkir. Sebab, duit dia yang lain adalah pecahan seratus ribuan. Dia ga bisa ngasih orang parkiran uang seratus ribu kan. Mending, bayar parkir uangnya pas. Oh oke, rasional kan.

Tapi, Lo tahu apa yang terjadi ketika sampai di meja pesanan. Pelayannya bilang bahwa kalau Lo mau pesan yang paket lima belas ribu, Lo harus bayar dua ribu buat harga kardus packingnya. Artinya Lo harus bayar tujuh belas ribu. Sementara, ada penawaran lain, dimana paket nasi dengan dua buah ayam, seharga Rp.19.000, kalau mau take-away ga perlu ada tambahan biaya packing. Nah, sekarang Lo akan pilih mana, beli yang lima belas ribu tapi Lo harus bayar tujuh belas ribu, atau Lo beli yang ayamnya double seharga Sembilan belas ribu tanpa harus nambah uang packing. Mana yang lebih rasional?

Temen gue bimbang, karena dia sebenarnya butuh uang pas seharga lima ribu aja untuk bayar parkir. Jadi, pilihan rasionalnya adalah beli yang paket single chicken aja, supaya dapat kembalian lima ribu an. Tapi, kenyataannya harga totalnya tujuh belas ribu. Sehingga, dia nggak bisa bayar uang parkir pas seharga lima ribu. Dan, kayaknya lebih untung kalau dia beli yang double chicken sebab cuma beda dua ribu sama yang single chicken.

Lalu apa yang dilakukan temen gue? Yap, Lo pasti tergiur dengan paket double seharga Sembilan belas ribu dibandingkan single yang total harganya tujuh belas ribu. Akhirnya, temen gue pilih untuk membeli double chicken wing seharga Sembilan belas ribu dengan kembalian seribu rupiah.

Setelah beres membeli paket double chicken wing itu, temen gue makin bingung. Gimana caranya dia bisa dapat kembalian lima ribuan. Karena di kantongnya sekarang Cuma tersedia pecahan seratus ribu dan seribu. Tengsin dong kalau bayar parkir yang paling total cuma tiga sampai empat ribu, terus Lo keluarin uang seratus ribu.

Kalau Lo jadi temen gue, apa yang akan Lo lakukan? Nah, yang temen gue lakukan adalah memecahkan uang seratus ribuan itu. Tapi dasar temen gue gengsi, daripada nuker di Mbak-Mbak kasir, dia mending membeli barang yang lain. Akhirnya, keluar dari gerai fastfood, temen gue mempertimbangkan akan membeli barang lain yang kira-kira dia butuhkan. Tapi, karena lagi nggak kepikiran butuh suatu barang, keputusannya adalah dia memutuskan ke gerai roti favoritnya. Begitu sampai gerai roti itu, dia memesan satu buah roti yang harganya sekitar tiga belas ribu. Lagi-lagi, si pegawai toko bilang, “Kak, ada promo setiap pembelian dua buah roti, kakak akan dapat dua buah roti, jadinya empat,”

Temen gue langsung berpikir, kalau beli empat roti dengan harga normal, dia harus membayar sebesar lima puluh dua ribu rupiah. Tapi, sebenarnya dia ga butuh sih roti banyak-banyak. Di sisi lain, beli dua roti gratis empat, terasa menggiurkan. Jadi, seperti yang Lo duga. Temen gue akhirnya memutuskan membeli dua buah roti, dengan total dua puluh enam ribu.

Akhirnya temen gue, menyodorkan uang pecahan seratus ribu dan mendapat kembalian receh yang cukup banyak untuk membayar parkir.

Dari cerita gue, Lo kebayang nggak sih, temen gue cuma butuh pecahan lima ribuan. Tapi untuk mendapatkan hal itu, dia membeli double chicken wings dan roti dua buah, yang totalnya hampir lima puluh ribu. Demi mendapat uang lima ribu, ia mengeluarkan uang lima puluh ribu. Nggak logis kan?

Sekilas, semua usahanya tanpa rasional. Tapi, sebenarnya, kenapa nggak langsung aja pakai uang dua puluh ribu yang digunakan untuk beli single chicken sebagai uang parkir kalau tujuannya Cuma dapat uang kembalian lima ribuan. Jadi, dia ga nggak harus beli double chicken wing dan terpaksa beli roti dua buah, demi mendapat kembalian uang lima ribuan. Itulah sebuah cerita tentang perjalanan mendapatkan uang parkir dari temen gue. Awalnya tampak logis, membeli suatu barang untuk mendapatkan kembalian yang dibutuhkan. Tetapi, apakah benar-benar rasional? Nyatanya enggak.

**

Selalu Rasional-kah Diri Lo Dalam Berperilaku Ekonomi?

Photo by Benedikt Geyer on Unsplash

Apakah Lo selalu memutuskan sesuatu dengan rasional?

Gue rasa nggak seratus persen juga.

Bukti penelitian menunjukkan manusia secara umum nggak pernah benar-benar rasional. Yaaah…. Meskipun rasionalitas dianggap sebagai capaian tertinggi yang membuat manusia dianggap istimewa dibandingkan makhluk lainnya di muka bumi, dan rasionalitas sempurna ini dibenarkan oleh teori ekonomi mainstream yang menganggap bahwa kita adalah makhluk rasional sempurna, namun kesempurnaan ini dibantah oleh Herbert Simon. Herbert Simon adalah Ilmuwan Psikologi Kognitif yang memenangkan Nobel di bidang Ekonomi pada tahun 1978. Simon mengatakan bahwa kita punya keterbatasan dalam berpikir logis dan rasional yang disebut bounded rationality atau kalau dibahasa-Indonesiakan jadi rasionalitas yang terikat (ini terjemahan bebas gue hehe, soalnya susah cari padanan istilah asing dalam bahasa Indonesia). Jadi, rasionalitas kita selalu terikat dan terbatas.

Bounded Rationality: Rasionalitas Kita Itu Terbatas

Photo by Bruno Mira on Unsplash

Teori bounded rationality atau rasionalitas yang terikat, adalah penamaan yang menyimbolkan bahwa rasionalitas kita ga benar-benar bebas, tapi terbatas. Teori ini menunjukkan bahwa kita memiliki kemampuan penyimpanan dan pemrosesan informasi yang terbatas dan enggak mungkin mencapai rasionalitas yang sempurna sampai setingkat seratus persen. Percaya atau nggak, karena keterbatasan kemampuan kita dalam mengelola berbagai hal yang ada di sekitar kita, membuat kita mengembangkan cara berpikir yang seefisien mungkin. Kita akhirnya seringkali menggunakan cara berpikir pintas yang berkebalikan dengan rasionalitas. Kata Simon, keterbatasan manusia dalam berpikir logis akhirnya membuat banyak sikap dan keputusan kita bersifat irasional, dan ini terlihat pada perilaku ekonomi kita.

Bounded Rationality Dalam Perilaku Ekonomi

Photo by Jon Cellier on Unsplash

Lo bisa aja tipe orang yang selalu mencoba memutuskan membeli sesuatu serasional mungkin. Tapi, tetep aja, nggak bisa terus menerus menggunakan rasionalitas tinggi.

Lalu apa contohnya sih dari perilaku nggak rasional kita dalam melakukan aktivitas ekonomi? Wuaah, banyak banget contohnya. Di antara contoh-contoh bounded rationality akan gue jabarkan beberapa aja di antaranya adalah berikut ini.

Pertama, Anchoring (Penjangkaran)

Photo by CHUTTERSNAP on Unsplash

Semua orang butuh sandaran dan pegangan dalam menentukan keputusan, termasuk ketika Lo membeli sesuatu. Tapi gimana kalau Lo nggak punya cukup informasi terhadap produk tersebut. Atau, Lo merasa nggak punya cukup ilmu buat menentukan apakah barang tersebut itu bagus atau nggak? Nah, kalau udah kayak gini. Lo akan mengambil informasi apapun yang tersedia, meskipun nggak akurat. Karena prinsipnya, manusia itu butuh kejelasan (makanya jangan mau digantungin si doi), otak kita tercipta untuk menciptakan stabilitas dan pola, jadi begitu ada yang nggak jelas, kita jadi takut. Jadi, diri Lo akhirnya, secara nggak rasional mengambil informasi apa aja yang tersedia dengan kalang kabut, cuma untuk menentukan sebuah keputusan. Sebab, kita cenderung mendasarkan penilaian pada informasi meskipun nggak relevan, karena hal itu dianggap lebih baik daripada nggak ada informasi sama sekali.

Lo masih inget kan temen gue tadi, saat dia cerita bahwa demi mendapatkan uang lima ribuan, dia mengeluarkan uang lima puluh ribu. Alasannya karena dia punya informasi bahwa pecahan seratus ribu itu sulit punya kembalian kalau dibuat bayar parkir. Ini informasi yang dia punya. Tapi, temen gue yang lain bilang, “Oh, jangan khawatir, tukang parkir mall itu kaya. Jadi, pasti ada kembaliannya. Lo mungkin akan terkejut dengan stok uang mereka,” Temen gue akhirnya mendapatkan informasi baru. Tapi, keputusan ekonomi yang dia lakukan adalah membeli barang lain demi mendapat uang receh, karena informasi yang dimilikinya yaitu uang pecahan seratus ribuan sulit dapat kembalian. Dia berpegangan dengan informasi apapun yang tersedia, terlepas akurat atau nggak.

Kedua, Relativitas

Photo by Artem Beliaikin on Unsplash

Selanjutnya, rasionalitas kita bisa tiba-tiba jatuh bebas ke dasar sumur karena masing-masing dari kita punya subjektivitas dalam melihat sesuatu. Subjektivitas yang mengarah pada teori namanya relativitas. Gampangnya, relativitas adalah rasionalitas subyektif yang mengacu pada subjektivitas harga suatu barang dan jasa di mata kita. Bisa aja Lo membeli barang yang sedang diskon di suatu pusat perbelanjaan yang jauh dan nggak membeli barang yang sama dengan harga yang sedikit lebih mahal pada toko terdekat karena secara subjektif Lo merasa diskon di pusat perbelanjaan itu lebih murah, tanpa mempetimbangkan bahwa biaya bensin, parkir, makan, jajan yang ternyata kalau ditotal lebih mahal daripada di toko terdekat yang kita anggap lebih mahal. Subjektivitas ini yang mengakibatkan Lo nggak sepenuhnya rasional dan objektif.

Ketiga, Hati-Hati Sama Emosi Lo

Photo by Erik Mclean on Unsplash

Perilaku membeli yang impulsif nggak hanya terbukti dipengaruhi oleh emosi positif maupun negatif, namun juga seberapa efektif regulasi emosi yang dilakukan oleh diri Lo. Regulasi emosi ini kalau diartikan bermakna kemampuan diri Lo untuk mengelola pengalaman emosional yang Lo alami tepat sesuai dengan tuntutan situasi. Balik lagi ke cerita temen gue tadi, secara emosional dia malu kalau ngeluarin uang seratus ribuan demi bayar parkir yang Cuma empat sampai lima ribu. Dia merasa kalau dia bayar parkir pakai uang seratus ribuan, dia kayak sok kaya gitu. Padahal, emosi malu ini nggak selalu terbukti tepat.

Atau contoh lainnya adalah, kalau Lo beli makanan karena Lo lagi emosi. Atau Lo shopping gila-gilaan karena Lo lagi badmood. Jadi, kalau Lo dalam situasi kayak gini, please lakukan beberapa hal berikut. Pertama, cognitive reappraisal alias melakukan interpretasi ulang terhadap emosi yang Lo alami. Karena, sebagaimana sifat emosi yang bisa jadi cepat dan sangat fluktuatif, emosi Lo yang mentrigger Lo untuk melakukan sesuatu yang irasional, bisa Lo kelola dulu sampai reda.

Keempat, Kebanyakan Pilihan Bikin Irasional

Photo by Victoriano Izquierdo on Unsplash

Lo bisa juga jadi nggak rasional pada saat Lo merasa kelelahan dalam mengolah begitu banyak pilihan dan informasi. Hal ini dinamakan choices overload (pilihan yang berlebihan). Terlalu banyak pilihan membuat Lo harus berpikir lebih keras untuk menentukan pilihan yang terbaik.

Hal ini banyak bangeet diriset, soal berapa variasi barang yang nggak bikin konsumen kelelahan dalam memilih. Nah, kalau kebanyakan variasi, biasanya Lo cenderung mumet kan, malah jadi males milih kan. Atau Lo malah beli sembarangan tanpa riset yang jelas. Memang dampak dari kelelahan terhadap beragamnya pilihan salah satunya adalah keputusasaan. Keputusasaan ini alih-alih bikin Lo menentukan pilihan secara rasional, tapi malah bisa jadi Lo lebih cenderung enggak memilih dan membuat keputusan sama sekali. Nah, jadi hindari membuat pilihan saat Lo merasa overwhelmed dengan pilihan Lo. Apalagi saat melakukan perilaku ekonomi, terlalu banyak pilihan bisa membuat Lo kelelahan dan melakukan sesuatu yang bisa jadi nggak sepenuhnya rasional.

Kelima, Capek Psikologis, Bikin Lo Nggak Bisa Mikir

Photo by Doğukan Şahin on Unsplash

Tak hanya fisik, secara psikologis, otak bagian rasional kita juga bisa merasa kelelahan. Nah, kalau dalam teori psikoanalisa, diri yang rasional ini disebut ego, hehe. Menurut Freud (baca Froid) kita ini terdiri dari tiga lapis kesadaran. Ada Id (bacanya id) adalah diri kita yang liar dan seenaknya. Ego adalah diri yang rasional dan memegang kendali. Sementara, superego adalah diri kita yang paling bijaksana dan taat aturan. Nah, gimana jadinya kalau si pemegang kendali ini kelelahan? Ego yang kelelahan atau ego depletion merupakan perasaan sangat kelelahan yang disertai dengan keenggak-inginan melakukan aktivitas apapun karena merasa kehabisan energi. Kondisi kelelahan ego ini terjadi ketika Lo udah mencurahkan segala tenaga Lo pada sebuah tugas. Hasilnya, Lo jadi mustahil punya fokus yang sama tingginya dengan tugas yang lain. Contohnya, kalau Lo udah seharian belanja nih di sebuah supermarket besar. Lo udah mencurahkan segala fokus Lo untuk menentukan belanjaan-belanjaan dengan harga miring terbaik sebisa mungkin seharian. Lo udah pengen banget pulang rasanya. Nah, perasaan capek Lo karena udah mencurahkan energy Lo membanding-bandingkan harga barang-barang seharian, bisa jadi bikin Lo nggak lagi punya energy yang sama ketika sampai kasir mereka menawarkan sebuah produk lagi. Lo bisa aja pengen cepet-cepet selesai, jadi Lo mengiyakan semua kata kasirnya, termasuk menambahkan produk yang mereka tawarkan ke dalam belanjaan Lo. Ini menandakan bahwa Lo udah nggak sekritis beberapa jam lalu saat Lo begitu hati-hati dalam membeli barang karena Lo udah kecapekan secara psikologis dan tentu saja fisik.

Keenam, Gengsi oh Gengsi

Photo by Tamara Bellis on Unsplash

Terakhir, ini sangat deket sama kita, yaitu beli karena gengsi. Conspicuous consumption kalau gue artiin artinya konsumsi yang dilakukan karena emang mau menonjolkan diri dan menjaga status yang Lo miliki. Lo beli ini, beli itu, bisa jadi Lo nggak sadar bahwa sebenarnya Lo nggak butuh semua itu, Lo Cuma beli karena gengsi. Lo beli bukan berdasarkan pada kegunaan barang dan jasa tersebut, melainkan untuk memberi kesan kepada orang lain bahwa Lo mampu buat beli-beli ini dan itu. Kalau ini udah jelas banget ya bukan konsumsi dan perilaku yang rasional sempurna. Sebagai muda yang selalu bertumbuh, gue nggak melarang Lo melakukan pembelian barang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, tapi please, sewajarnya dan semampunya. Semoga Lo bisa bertemu dengan lingkungan yang bisa menerima Lo apa adanya, bukan dari barang yang Lo punya. Aamiin.

Sepatah Kata dari Klik.Klas

Photo by Allef Vinicius on Unsplash

Klikers, be wise in your spending. Bijaklah dalam melakukan pengeluaran. Terutama kalau Lo masih bergantung ke orang tua. Sebagai muda yang bertumbuh setiap hari, regulasi diri itu juga termasuk ke dalam bagaimana kita bijak mengatur sumber daya finansial yang kita miliki. Nah, dalam proses mengatur itu, Lo perlu pahami beberapa jebakan irasionalitas yang sering kita lakukan saat melakukan aktivitas ekonomi. Boleh beli ini itu asal kita udah berusaha serasional mungkin dan sebijak mungkin. Meski nggak sempurna, tapi jangan nggak sempurna banget hehe.

Semoga sharing hari ini bermanfaat.

Semoga kita jadi pribadi yang #selalubertumbuh

Kunjungi Media Sosial Klik.Klas Lainnya

Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas

Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget! Klik di sini.

Tentang Penulis

Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A

Salam kenal gue Fakhi. Gue merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi sosial yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Yuk baca dan cari lebih dalam tulisan-tulisan gue di Instagram @fakhirah.ir

Tulisan Ini Gue Tulis Setelah Membaca …

Abratt, R., & Goodey, S. D. (1990). Unplanned Buying and In-Store Stimuli in Supermarkets. Managerial and Decision Economics, 11(2), 111–121.

Ariely, D., & Kreisler, J. (2017). Dollars and sense: How we misthink money and how to spend smarter. HarperCollins.

Iyengar, S. S., & Lepper, M. R. (2000). When choice is demotivating: Can one desire too much of a good thing? Journal of Personality and Social Psychology, 79(6), 995–1006. https://doi.org/10.1037//0022-3514.79.6.995

Shafir, E., & LeBoeuf, R. A. (2002). Rationality. Annual Review of Psychology, 53(1), 491–517. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.53.100901.135213

Simon, H. A. (1997). Models of Bounded Rationality: Empirically grounded economic reason. MIT Press.

Sivanathan, N., & Pettit, N. C. (2010). Protecting the self through consumption: Status goods as affirmational commodities. Journal of Experimental Social Psychology, 46(3), 564–570. https://doi.org/10.1016/j.jesp.2010.01.006

Tversky, A., & Kahneman, D. (1974). Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases. Science, 185(4157), 1124–1131. https://doi.org/10.1126/science.185.4157.1124

Vohs, K. D., & Baumeister, R. F. (2017). Handbook of Self-Regulation, Third Edition: Research, Theory, and Applications. Guilford Publications.

Weinberg, P., & Gottwald, W. (1982). Impulsive consumer buying as a result of emotions. Journal of Business Research, 10(1), 43–57. https://doi.org/10.1016/0148-2963(82)90016-9

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet