Lo pernah ga, merasa sakit, pas ke dokter ternyata ga ada apa-apa?
Hari ini gue akan berbagi sebuah cerita dari temen gue, sebut aja namanya Ani.
Sebelumnya gue mau minta maaf dulu, kalau ada kesamaan dan kemiripan dengan nama Ani. Sungguh tidak ada unsur kesengajaaan ya Klikers!
Oke, langsung aja masuk ke cerita tentang Ani.
Suatu hari, temen gue Ani, bercerita ke gue kalau tiba-tiba dia mengalami hal-hal yang nggak dia pahami. Kejadian-kejadiannya juga lucu-lucu banget.
Misalnya Ani pernah mengalami nafsu makan yang nggak wajar.. Bisa nih habis makan nasi sepiring lengkap sama lauk pauknya, tiba-tiba satu jam kemudian Ani udah super laper lagi. Normalnya kan, setelah 4 jam orang akan lapar lagi. Tapi, Ani laper lagi dalam hitungan satu jam.
Aneh banget kan?
Kalau lo tanya, apakah Ani makannya sayuran doang yang cepet kebakar? Nggak!
Gue tahu banget, Ani gaya makannya standar orang Indonesia yang nasinya banyak daripada sayur dan lauknya. Tapi, anehnya Ani cepet laper lagi.
Ani bingung banget. Dia heran, biasanya dia termasuk yang jam lapernya wajar aja. Tapi akhir-akhir ini dia kok kayak gampang laper ya?
Akhirnya, Ani jadi khawatir, dia sampai curhat ke gue dan bertanya-tanya apa pencernaannya terganggu, atau jangan-jangan cacingan?
Iya gua sampai mikir juga sih apa emang bener Ani cacingan! Hahaha.
Akhirnya, gue saranin Ani untuk menghubungi salah seorang teman yang kuliah di jurusan Gizi, buat konsul masalah kadar gizi yang seimbang dan ideal untuk ukuran Ani. Soalnya, bisa jadi karena kadar gizinya nggak seimbang, jadi cepet laper.
Akhirnya temen gue yang seorang nutrisionis menyarankan dia untuk makan sehat yang udah ditakar-takar kilogramnya dan mencoba gaya hidup sehat lainnya seperti olahraga, tidur cukup, dll. Singkat cerita Ani melakukan apa yang temen gue, anak jurusan gizi tadi, sarankan. Ani melakukan apa yang disarankan seperti makan sehat, olahraga dan ditambah minum obat cacing (siapa tahu kan Ani cacingan)? Setelah beberapa hari mencoba gaya hidul sehat, ternyata tetep nggak ada bedanya coy!
Ngelihat nggak ada bedanya. Ani makin stress! Dia curhat lagi sama gue. Gue berpikir, bisa jadi ada masalah sama lambungnya. Bisa jadi ada yanag luka, sehingga pencernaannya terganggu.
Akhirnya Ani menuruti saran gue dan pergi ke dokter. Ani sepakat bahwa dia perlu diskusi sama dokter dan bertanya apakah dia ada masalah pencernaan. Setelah Ani cek asam lambung, dan hal-hal lain yang berkaitan sama gangguan gampang laper nggak wajarnya itu… Lo tahu nggak hasilnya apa?
Di luar dugaan banget!
Dokternya cuma bilang Ani nggak ada masalah sama pencernaan, nggak ada masalah sama asam lambung, nggak ada masalah apapun sama organ pencernaan lainnya.
Tapi…. tetep ada masalahnya.
Menurut dokternya, ia ada masalah di kesehatan mental. Menurut dokter reaksi mudah lapernya itu diakibatkan oleh stress.
Ani cerita ke gue bahwa saat dokternya bilang kalau doi stress, dia nggak percaya sama diagnosanya. Dia curhat gini “Kok bisa sih gue stress. Gue merasa fine-fine aja. Skripsi berat? Iya tapi gue suka sama topik yang gua pilih, jadi nggak merasa terlalu berat, jadi masa sih gue stress?”
Kok bisa?
BADAN LO UDAH NGASIH TAHU, LO AJA YANG NGGAK PEKA
Gue akan coba balik ke cerita Ani sebelumnya. Ani yang mengalami abnormalitas nafsu makan dan setelah itu cek ke dokter, cuma diberi saran supaya mengurangi stress. Ani mengalami gejala Psikosomatis.
Istilah psikosomatis mengacu pada gejala fisik yang muncul dari atau dipengaruhi oleh pikiran dan emosi lo, daripada penyebab organik tertentu dalam tubuh (seperti cedera atau infeksi). Secara sederhana, psikomatis adalah sebuah kondisi dimana badan sel tubuh lo (soma) bereaksi terhadap emosi lo.
Badan ini biasanya lebih jujur daripada otak lo.
Dari sana Ani kenal sama konsep psikosomatis, dimana badan Ani sebenarnya sudah merasa stress tapi otak Ani menolaknya. Akhirnya, fungsi fisiologis dan biologis Ani lebih dulu mendeteksi stress yang Ani alami. Psikosomatis sekali lagi adalah sebuah konsep dimana kondisi mental termasuk stress membuat soma (sel tubuh) lo jadi ikutan stress.
Penyakit psikosomatis yang lo alami bisa aja berasal dari atau diperburuk oleh stres yang lo alami dan termanifestasi dalam tubuh sebagai rasa sakit fisik atau gejala fisik lainnya. Depresi juga dapat menyebabkan lo punya penyakit psikosomatis, terutama ketika sistem kekebalan tubuh telah melemah karena stres yang parah dan /atau kronis.
KOK BISA STRESS BIKIN SAKIT?
Mungkin lo nggak mempelajari semua tanda stress, tapi mempelajari gejala umumnnya, misal memahami kapan lo berada di bawah tekanan yang ekstrem dan harus segera menghindari tekanan itu, dapat membantu Lo mengurangi psikosomatisnya. Setelah lo mengidentifikasi tanda-tandanya, Lo dapat bekerja untuk mengurangi efek stres pada kesehatan lo.
Gue akan kasih analogi dengan alat memasak nasi atau ricecooker. Stress ibaratnya adalah tekanan uap air yang dihasilkan dari proses memasak. Kalau lo lihat-lihat lagi, setiap ricecooker akan menyediakan saluran supaya uap airnya keluar. Nah, kalau uap air ini nggak keluar, akan terjadi tekanan udara yang nggak stabil di dalam ricecooker. Efeknya, bisa aja rice cooker ini akan meledak di bagian-bagian yang paling lemah. Seperti ricecooker yang melemah pada titik terlemah dari strukturnya, penyakit yang berhubungan dengan stres kemungkinan besar akan berkembang di mana tubuh lo sudah melemah, atau titik organ terlemah lo.
Kalau lo sedang stres dan nggak mampu “melampiaskan” emosi stress yang lo punya, atau, lo mencoba “menyimpan semuanya”. Pada akhirnya suatu saat lo akan mencapai titik puncak emosi. Ini dapat muncul sebagai gejala fisik atau memicu episode depresi berat.
Lo mungkin menyadari bahwa ada beberapa tanda peringatan atau “petunjuk” bahwa gejala stress itu datang — terutama dalam hal gejala fisik yang lo alami. Misalnya, kalau leher lo selalu menjadi kelemahan fisik Lo, Lo mungkin merasa nyeri leher meningkat saat stres. Sakit punggung, sakit perut, dan sakit kepala makin menjadi-jadi saat lo banyak tekanan, karena mungkin punggung, perut, dan kepala merupakan area terlemah di tubuh Lo.
Bisa aja kayak Ani, yang emang udah punya bawaan sakit pencernaaan, jadi, saat Ani diserang stress, yang kena adalah bagian percernaan duluan, misal merasa laper terus. Ada juga yang lemah di pernapasan, kalau stress jadi mudah sesak napas. Psikosomatis ini memang menyerang barikade tubuh terlemah lo dimana, sehingga tubuh lo akan jadi mudah sakit di area paling lemah lo.
Stres juga dapat merusak kekebalan imun Lo. Beberapa temen curhat kalau stres dateng mereka jadi gampang kena flu atau pilek. Orang yang stress tinggi juga mudah kena infeksi atau membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh. Jadi, lo paham kan kenapa supaya tetep sehat orang perlu happy. Be happy, Klikers!
KE DOKTER EH NGGAK SAKIT APA-APA
Jika dokter lo nggak dapat menemukan penyebab fisik yang jelas dari rasa sakit lo (seperti cedera atau infeksi) dokter akan beralih ke analisis emosi. Nah, kalau nggak ada penyebab fisik yang jelas atau nggak ada gangguan fisik sama sekali. Bisa jadi lo psikosomatis.
Dari peristiwa ini Ani jadi paham, bahwa selama ini Ani belum benar-benar tahu apa warning dan indikator tubuhnya kalau lagi stress. Setelah Ani flashback ke masa-masa Ani sekolah, ternyata Ani pernah ngalamin psikosomatis beberapa kali juga dan itu parah-parah banget. Misalnya, dulu Ani pernah gatal-gatal di bagian dagu doang, pas ke dokter kulit, dokternya cuma bilang kalau si Ani lagi stress. Ani juga pernah mengalami sakit di organ dalam sampai harus ke dokter pencernaan pas mau ujian.
Dari kejadian ini, Ani jadi tahu kalau sebenarnya badan kita sering ngasih sinyal kalau kita sedang tertekan. Dari kejadian ini Ani jadi tahu hadirnya penyakit-penyakit yang setelah diperiksa secara medis nggak ada gangguan apa-apa, bisa jadi sumbernya di mental yang kita alami.
Tekanan mental yang kita alami biasanya akan menyebabkan produksi hormon kortisol. Hormon kortisol ini adalah hormon yang diproduksi seseorang saat stress. Kortisol ini adalah hormon yang kalau terlalu banyak akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam tubuh kita. Kortisol ini adalah bagian penting dari respons tubuh terhadap stres dan bisa sangat berguna buat ngasih tahu lo kalau lo lagi stress.
Kortisol ini mau ngasih tahu lo, “Woi istirahat woi! Woi lu lagi stress, udahan dulu udahaan….! Lo udah stress woi, rileks duluuu…”
Namun, jika tubuh lo memiliki jumlah kortisol yang tinggi atau dilepaskan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama, hormone kortisol ini jadi lebih berbahaya daripada baiknya.
CARA MENGHADAPI PSIKOSOMATIS
Dengan memahami konsep Psikosomatis, akhirnya sekarang Ani lebih bisa deteksi dan segera bertindak cepat saat gejala sakit fisik yang nggak terjelaskan itu muncul.
Nah, saat gejala ini muncul, lo perlu analisis sumber stressor terberat lo dimana?
Setelah lo mengetahui dan telah mengidentifikasi sumber stres dalam hidup lo, langkah selanjutnya adalah mempelajari mekanisme cara menghadapi stress itu. Salah satu yang paling pertama (dan paling penting) adalah menghindari psikosomatis adalah jangan menahan perasaan Lo. Seperti ricecooker, uap yang tertahan di dalam idealnya harus keluar. Hal tersehat yang dapat Lo lakukan adalah mengembangkan cara untuk “melampiaskan” dengan tepat dibandingkan memendam dan membiarkan si stres menemukan titik lemah lo dan meledakkan benteng pertahanan fisik terlemah lo.
Ada banyak cara sehat mengurangi stress dan menghindari psikosomatis. Misalnya, jujurlah dengan orang lain (dan diri Lo sendiri), ceritakan pada teman, lakukan sesuatu yang baik untuk orang lain (dan pastikan untuk melakukan hal-hal baik untuk diri lo sendiri juga). Makan makanan yang seimbang, olah raga teratur, dan ciptakan ruang tidur yang menenangkan buat lo. Jelajahi cara baru yang menyenangkan untuk mengatasi stres. Bergabunglah dengan kelompok atau komunitas yang bikin lo happy. Belajar teknik relaksasi. Memaafkan dan melepaskan dendam, pola pikir, atau hubungan yang tidak sehat atau bermanfaat bagi Lo. Luangkan waktu untuk kegiatan santai yang Lo nikmati. Beristirahatlah jika Lo berada dalam situasi stres.
Oleh karena itu, sedini mungkin, mulailah mengenali diri. Mengenali diri sendiri ga selalu soal karir, tapi tentang apa-apa aja yang membuat lo tertekan, kondisi apa yang sebaiknya lo hindari, kondisi apa yang baik buat kesehatan mental lo. Lo harus paham diri lo sendiri.
Akhirnya, gue bantu Ani memhami sumber-sumber stresornya. Hal ini membuat Ani lebih bisa memilih aktivitas mana yang dihindari dan nggak, terus Ani tahu kapan Ani harus stop saat indikator stress tubuh Ani muncul.
Mengetahui diri sendiri akan membuat lo selangkah lebih maju, lebih positif memandang diri, lebih fokus, dan bisa mengangkat diri lo dari kubangan kegelisahan dan kegalauan.
Kesimpulan
Sebagai muda yang terus selalu berusaha bertumbuh setiap hari, pahami diri lo, kelebihan dan kelemahan lo. Termasuk tanda-tanda fisik lo yang ngasih tahu lo bahwa stress yang lo alami udah perlu diatasi. Pahami kapan lo harus relaksasi. Sebab, untuk bisa bertumbuh setiap hari, tubuh kita perlu dalam kondisi prima.
Memahami diri sendiri itu nggak harus selalu berkaitan sama mencari bakat terus kerja sukses. Tapi lebih dari itu. Memahami diri sendiri bisa membuat kita lebih siap menghadapi tekanan, lebih siap dengan kondisi-kondisi yang bikin kita tertekan.
Pada tulisan selanjutnya gue akan menceritakan lebih jauh tentang pentingnya memahami diri sendiri dalam berbagai sisi kehidupan kita sebagai manusia. Dan bagaimana memahami diri sendiri berkaitan dengan proses menerima diri sendiri dan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih positif.
Semoga bermanfaat!
Sampai jumpa!
Klik Klas, Belajar Luar Kelas!
Kunjungi Media Sosial Klik Klas Lainnya
Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas
Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget!
Tentang Penulis
Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A (Cand)
Penulis merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Tahu lebih dalam tulisan lainnya di Instagramnya @fakhirah.ir
Sumber Bacaan
Ader, R. (1980). Psychosomatic and psychoimmunologic research. Psychosomatic Medicine.
Leonidou, C., Panayiotou, G., Bati, A., & Karekla, M. (2019). Coping with psychosomatic symptoms: The buffering role of psychological flexibility and impact on quality of life. Journal of health psychology, 24(2), 175–187.
https://patient.info/mental-health/psychosomatic-disorders
https://www.verywellmind.com/depression-can-be-a-real-pain-1065455
https://www.britannica.com/science/psychosomatic-disorder
https://www.healthgrades.com/right-care/mental-health-and-behavior/psychosomatic-illness