Ingin Dipahami Ortu Mulu, Gantian Yuk Memahami Mereka

klik.klas
9 min readMay 10, 2021

--

Lo pernah nggak merasa kesal bahkan marah, karena ortu nggak memahami diri kita?

Photo by Rod Long on Unsplash

“Gue nggak ngerti deh, kenapa ortu gue penuntut banget, bawaannya kayak pencapaian gue nggak pernah cukup,”

“Iya bener. Kayak mudah marah. Sulit gue memahami kenapa sebenarnya nyokap gue,”

“Kemarin ortu gue ketemu sama temen-temennya. Terus sepulang dari situ, tiba-tiba langsung nyuruh gue inilah itulah, seakan-akan biar gue bisa lebih daripada anak temen-temen ortu gue,”

Pernah mengalami hal seperti ini?

**

Kok Mereka Nggak Paham Betapa Sulitnya Menjadi Kita, Sih…

Photo by GRAY on Unsplash

Klikers, selama ini bisa jadi kita sering kesal karena sebagai anak, kita dituntut ini dan itu, kita merasa ortu nggak bisa ngertiin kita, ortu nggak ngerti perbedaan zaman yang bikin permintaan mereka nggak relevan lagi (misal mereka nggak paham jadi YouTuber itu pekerjaan apa), atau kenapa ortu begitu menuntut dan cemas sama pencapaian-pencapaian kita.

Bagi yang sedang di awal usia 20 an, bisa jadi kita sering ngerasa bahwa ortu nggak paham betapa galaunya hidup kita. Nggak ngerti betapa nggak enaknya kuliah di jurusan yang nggak kita sukai, betapa beratnya menjalin pertemanan dan percintaan, dan semuanya ternyata berantakan. Betapa kacaunya rasa patah hati. Dan, betapa nggak enaknya punya banyak tugas organisasi, tugas kuliah, dan hubungan romantic yang naik turun. Sementara kita sering mendapati ortu cuma bisa nanya, “IPK berapa? Kenapa kamu bolos? Kenapa nilaimu turun? Kenapa nggak ikut organisasi keren kayak si X, Y, dan Z? Kenapa nggak magang di perusahaan bonafit?” Lo mungkin ingin berteriak, “Emangnya gampang menyelesaikan semua itu?”

Sementara, yang berada di usia 25-an, Lo mungkin merasa marah dan kecewa, sebab ortu nggak ngerti betapa nggak enaknya terserang quarter life crisis. Kita merasa ortu nggak ngerti soal betapa nggak enaknya menjadi sarjana baru dengan segudang kegelisahan yang nggak jarang membuat kita jadi stress dan depresi. Betapa nggak enaknya berada dalam ketidakpastian, masih mencoba apply kerja sana sini, mencoba beasiswa sana-sini, belum ada panggilan, serta hubungan romantic yang mulai banyak ganjalan dan cobaan. Betapa nggak enaknya ngeliat temen udah pada keterima kerja dan update di media sosial, sementara kita hanya bisa menatap layar email lamaran yang belum ada balasan. Belum lagi, betapa kacaunya perasaan melihat beberapa teman lainnya sudah mulai update undangan pernikahan, kabar lahiran, ulang tahun anak, sementara Lo sedang berusaha baik-baik saja setiap ditanya, “Kapan nyusul?”. Terus ortu ikut-ikutan menambah kehebohan pertanyaan itu dengan “Kenapa sih nggak kerja ini aja, atau kerja itu aja?”

BUM! Rasanya semua kegelisahan dan dilema yang Lo alami dan rasakan nggak dipahami oleh orangtua. Lo marah kenapa orang tua nggak bisa memahami kondisi yang Lo alami.

Tapi, Pernahkah Lo Mencoba Memahami Kondisi Mereka?

Photo by LOGAN WEAVER on Unsplash

Bisa jadi kita sering menuntut untuk dimengerti oleh ortu kita. Pertanyaan seperti, “Kenapa sih ortu nggak bisa ngertiin kita?” bisa jadi terus menerus ada dalam pikiran Lo. Tapi, apakah Lo udah berusaha memahami badai apa yang mereka rasakan? Apa saja yang sedang mereka hadapi? Apakah mereka bebas dari rasa cemas?

Kalau Lo belum mencoba mengambil perspektif mereka. Gue akan coba tawarkan satu sudut pandang buat Lo yaitu berasal dari pendekatan tahapan perkembangan dan krisis yang menyertainya. Karena, pada dasarnya, setiap tahapan perkembangan, setiap rentang usia, setiap jenjang kehidupan memiliki krisis masing-masing.

USIA ORANGTUA DAN DILEMA YANG DIHADAPI MEREKA

Photo by Ellery Sterling on Unsplash

Apakah orang tua Lo berada pada usia 40 hingga 50-an akhir?

Kalau iya, berarti orang tua Lo sudah memasuki masa dewasa tengah atau lebih dikenal dengan sebutan paruh baya.

Meskipun usia paruh baya memiliki banyak perdebatan batas pastinya (karena beda tempat, beda konteks, bisa mempengaruhi tahapan memasuki usia paruh baya masing-masing orang), tapi secara umum dimulai pada usia 40 an tahun dan berakhir di usia 60 an awal. Definisi psikologisnya adalah sebuah tahapan perkembangan dimana seseorang mengalami penurunan fisik, keterampilan, tapi pada saat yang sama ada tanggungjawab yang meningkat. Beberapa ahli lainnya merumuskan usia paruh baya dengan kondisi dimana Lo berusaha meneruskan sesuatu yang berarti dan bermakna untuk generasi setelahnya dan sudah sampai pada titik kepuasan karir.

Perubahan Fisik Berpengaruh Pada Emosi

Photo by Curology on Unsplash

“Kenapa sih ortu gue mudah menuntut akhir-akhir ini?”

Mari kita bahas dari sudut pandang penurunan fisiologis dulu.

Tentu Lo paham bahwa ada banyak perubahan fisik yang menandai seseorang masuk ke fase dewasa tengah, misal penurunan kemampuan fisik. Misal, fisik ortu kita udah nggak sesehat dan sebugar dulu. Ada rasa nggak enak badan yang bisa aja konstan ada pada ortu kita. Bisa karena mudah pusing, mudah capek, dan segala macem lainnya, yang tentu berpengaruh terhadap emosi dan tingkah lakunya.

Lo juga kan, kalau sakit biasanya lebih mudah kesel, ngambek, pengen dilayani, dan segala macam lainnya. Bayangkan, ini bukan cuma sakit, tapi ada penurunan energi dan produktivitas yang memang terjadi secara alami dan nggak bisa dilawan. Kebayang nggak Lo kalau lagi sakit, Lo merasa kesel sendiri, karena aktivitas Lo terhambat. Atau, kalau lagi pusing dikit, sementara Lo harus tetap belajar, datang ke kampus, dan melanjutkan aktivitas lainnya, Lo merasa sedih karena nggak bisa optimal seperti biasanya. Tapi, gimana kalau keadaan ini bukan sementara, Lo akan terus mengalami penurunan energi dari waktu ke waktu. Gimana perasaan Lo? Ini juga yang terjadi pada orang tua kita. Ada perasaan campur aduk yang nggak terjelaskan, saat mereka mengalami penurunan keberfungsian fisik.

Belum lagi, perubahan penampilan fisik yang nggak sebagus saat dewasa awal. Misalnya mengalami kegemukan, uban yang mulai tumbuh, keriput dan lain sebagainya. Hal-hal ini pada beberapa dewasa paruh baya, seperti usia ortu kita, terutama yang perempuan, bisa mempengaruhi emosinya juga. Yaitu, saat wajah terlihat semakin jelas meninggalkan fase dewasa awal.

Sementara itu, Lo baru sakit sedikit, ada jerawat sedikit, dan gemuk dikit, udah berubah kan emosi Lo? Apalagi pada orang tua kita yang memang penurunan fisiologis adalah hal yang menetap dan emang nggak bisa mereka ubah untuk seprima saat muda.

Ini baru ngomongin sedikit sisi, yaitu aspek fisik yang spesifik berkaitan dengan kesehatan dan dampaknya terhadap emosi. Padahal, emosi dan tingkah laku dipengaruhi banyak hal. Tetap lanjut baca ya…

Apakah Fase Paruh Baya Berlangsung Tanpa Badai? Oh, Tidak…

Photo by LOGAN WEAVER on Unsplash

Mungkin kita lupa bahwa di dunia ini yang mengalami krisis perkembangan bukan cuma remaja dan dewasa awal (quarter life crisis). Sekali lagi, setiap tahapan perkembangan punya badai dan krisisnya masing-masing. Dan, mungkin krisis ini jarang disampaikan ke kita yang muda, karena para orang tua kita takut membebani kita. Padahal, paruh baya adalah salah satu rentang perkembangan dengan tekanan yang paling berat. Roger Rosenbalt mengatakan, “Middle age is such a foggy place”. Usia paruh baya jika dideskripsikan sebagai sebuah tempat adalah tempat yang penuh kabut.

Kenapa berat? Mari kita selami dilema-dilemanya.

“APAKAH SAYA SUDAH JADI ORANG TUA YANG BAIK?”

Photo by Science in HD on Unsplash

Erikson (1968) mengatakan bahwa di usia dewasa tengah, salah satu pertanyaan yang terus menghantui para dewasa tengah (termasuk orang tua kita) adalah “Apakah saya sudah membimbing anak-anak saya dengan baik?” atau “Apakah saya sudah jadi orang tua yang baik?”

Krisis ini adalah krisis yang disebut Erikson sebagai “Generativitas versus Stagnasi” yang intinya adalah krisis yang berkaitan dengan seberapa mereka bisa berkontribusi dengan baik untuk generasi selanjutnya. Mereka yang bisa mendidik dengan baik akan mencapai generativitas yang baik, sementara yang belum merasa bisa memberi apa-apa, akan merasa stagnan (stagnasi).

Apa hubungannya dengan tingkah laku dewasa tengah, termasuk orang tua kita?

Ada. Karena orang tua kita merasa bahwa salah satu pencapaian penting dalam hidup di usia ini adalah meninggalkan generasi selanjutnya yang lebih baik daripada mereka, maka ada sebuah dorongan psikologis untuk membuat kita, anak-anaknya, jauh lebih baik daripada mereka, dengan cara apapun.

Karena dorongan generativitas begitu tinggi dan berlangsung tanpa sadar, serta diiringi kecemasan akan kegagalan dan ketakutan menjadi orang yang stagnan, nggak heran banyak dari orang tua kita yang terkesan penuh control, demanding, dominan, dan pushy.

Nah, gue mau nanya, pernah nggak Lo dalam keadaan cemas dan Lo melakukan berbagai hal untuk mengatasinya dengan cara sembarangan. Lo masing ingat kan saat Lo baru lulus SMA dan Lo saat memulai proses pencarian kampus untuk tahapan studi Lo selanjutnya. Lo tahu kan ada ekspektasi sosial yang nggak bisa Lo jelaskan yang juga berpengaruh kepada diri Lo, ada keinginan pribadi Lo sendiri juga yang bikin Lo cemas, dan Lo juga cemas karena ada perbandingan sosial dengan temen-temen Lo yang udah keterima dan lain sebagainya.

Sama dengan orang tua kita. Bayangkan mereka sebenarnya sedang berjuang dengan pertarungan internal mereka juga. Ada perbandingan sosial, ekonomi, target dan ekspektasi pribadi. Frustrasi juga kadang membuat seseorang jadi agresif. Jadi, saat orang tua kita menuntut ini itu, bisa jadi bukan karena nggak sayang, tapi sebenarnya mereka sedang berjuang menghadapi dilemma mereka sendiri. Mereka bisa jadi juga sedang menghadapi dilema internal.

FASE DEWASA TENGAH FASE YANG TIDAK MUDAH

Photo by John Moeses Bauan on Unsplash

Psikiater Roger Gould menekankan bahwa usia paruh baya adalah usia yang juga penuh badai internal pada seseorang. Fase yang sama bergejolaknya dengan masa remaja. Gould meneliti 534 laki-laki dan perempuan lanjut usia dan meminta mereka menggambarkan bagaimana fase-fase hidupnya dari awal hingga saat itu. Hasilnya adalah usia 20 an adalah masa yang dianggap penuh dengan dilemma peran-peran baru dan pengalaman pertama dalam hidup (kelulusan pertama, pekerjaan stabil pertama, cinta serius pertama, pernikahan, pekerjaan, berhenti kerja, pengangguran, dan lain sebagainya). Sementara pada akhir usia dewasa awal yaitu sekitar usia 30 tahunan adalah masa-masa peningkatan tanggung jawab serta “merasa terjepit dengan berbagai tanggung jawab yang semakin berat”. Kemudian, pada usia 40 tahunan, mereka merasa bahwa hidup mereka seperti lari-lari, dimana semuanya terlihat urgen dan penting untuk dilakukan, sadar waktu semakin terbatas, dan sedang berusaha mempercepat daftar pencapaian yang belum tercapai (misal kestabilan ekonomi, karir, rumah tangga, dan lain sebagainya). Tentu, semua dilemma-dilema ini berpengaruh terhadap emosi dan sikap para dewasa tengah termasuk orang tua kita.

Bayangkan kita berada di posisi mereka. Ibarat bekerja, kita semakin sadar bahwa jam pulang kantor sudah hampir tiba, sementara terasa begitu banyak deadline pekerjaan yang belum selesai. Sebagian bisa mengatasi dengan tenang, sementara sebagian lainnya bisa saja tidak mampu menghadapi tenggat deadline dengan tenang.

Psikolog Klinis lainnya, Daniel Levinson (1978, 1980) juga meneliti perasaan-perasaan para laki-laki paruh baya. Ternyata 70–80% laki-laki yang diwawancarai oleh Levinson menganggap usia paruh baya (saat itu di kisaran 40–50 tahunan) adalah fase yang secara psikologis menyakitkan, karena banyak aspek kehidupan yang kembali dipertanyakan. Masa yang ramai dan ribut secara psikologis.

Sepatah Kata dari Klik.Klas

Photo by Paolo Bendandi on Unsplash

Klikers, gue tahu, sebagai anak muda, hidup kita sudah begitu penuh dengan berbagai pikiran soal masa depan, belum lagi kecemasan-kecemasan yang menyertai prosesnya. Proses ini bisa jadi semakin terasa tidak nyaman begitu kita mendapati orang tua kita merespon fase ini tidak sesuai dengan yang kita harapkan.

Tapi, sebelum kita kesal dengan reaksi mereka, bagaimana jika kita berusaha melihat ada apa di balik itu semua. Sesekali kita perlu mengenakan sepatu mereka. Kenapa mereka bersikap demikian dan demikian. Salah satunya adalah melihatnya dari perspektif yang sama dengan saat Lo melihat diri dan berdalih dengan alasan usia tersebut, “Gue kan emang usia 20 an yang penuh gejolak, pantes aja gue masanya coba-coba, mereka ngerti nggak sih?”

Lantas, kenapa kita juga nggak berusaha memahami mereka dengan dalih yang sering kita pakai dan agung-agungkan, yaitu berusaha memahami mereka dari tahapan perkembangan mereka serta dilema yang menyertai individu yang berada pada posisi itu.

Kemampuan untuk melihat hidup dari berbagai sudut pandang, akan membuat kita menjadi lebih empati. Termasuk kemampuan untuk melihat, sebenarnya apa yang dirasakan oleh orang tua kita. Gue tahu memahami diri sendiri aja susah, apalagi mencoba berada dalam posisi orang lain, termasuk orang tua kita. Tapi, nggak ada yang nggak bisa dipelajari jika kita punya tekad untuk menjadi muda yang bertumbuh setiap hari.

Semoga bermanfaat!

Kunjungi Media Sosial Klik.Klas Lainnya

Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas. Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget! Klik di sini.

Tentang Penulis

Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A

Salam kenal gue Fakhi. Gue merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi sosial yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Yuk baca dan cari lebih dalam tulisan-tulisan gue di Instagram @fakhirah.ir

Tulisan Ini Lahir Dari Tulisan Lainnya

Erikson, E. H. (1968). On the nature of psycho-historical evidence: In search of Gandhi. Daedalus, 695–730.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis (№7). WW Norton & company.

Gould, R. L. (1978). Transformations: Growth and change in adult life. Simon & Schuster.

Levinson, D. J. (1978). Eras: The anatomy of the life cycle. Psychiatric Opinion.

Santrock, J. W. (2007). A topical approach to life-span development, 3E. Ch, 5, 192.

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet