“Cowok Kok Gini Sih, Kurang Laki!” Kenali Tanda Toxic Masculinity

klik.klas
6 min readJun 21, 2021

--

“Cowok kok nangis sih, ih nggak macho banget!”

Photo by Hardini Lestari on Unsplash

Halo para cowok, pernah mendengar atau menerima perkataan seperti ini? Atau, pernah nggak Lo kesulitan untuk mengungkapkan emosi dan perasaan Lo, karena Lo merasa saat melakukannya Lo merasa cowok nggak harusnya kayak gitu? Atau, pernahkah nggak mendengar nasihat-nasihat seperti, “Anak cowok itu harus tegar, jangan lemah, nggak boleh baperan…” Gue rasa sebagian besar cowok pernah mendengar dan mendapat nasihat serta pernyataan seperti di atas.

Pada contoh yang lain, wahai para cowok, apakah Lo pernah takut dicap nggak laki banget saat Lo lebih ekspresif daripada cowok lain di sekitar Lo? Atau, pernah nggak Lo kesulitan menuangkan dan menceritakan perasaan Lo karena bagi Lo semua itu adalah domain cewek, sementara domain cowok adalah menjadi cool dan nggak terlalu perasa. Apakah Lo merasa menjadi cowok artinya selalu menonjolkan dominasi?

Atau, untuk para cewek nih. Pernah nggak Lo kesulitan untuk membaca emosi para cowok, kesulitan untuk meminta para cowok bercerita yang seringkali hanya berujung dengan diam seribu bahasa. Apakah Lo juga sering mendapati kalimat “Nggak apa-apa, nggak ada masalah,” dari teman-teman atau cowok Lo?

Jika ini terjadi pada Lo para cowok, Lo nggak sendirian. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di mana-mana. Ini bukan kasus individual, yang artinya ada pola dan penyebab yang lebih besar dari individu itu sendiri. Sekali lagi, toxic masculinity bukan hanya tentang Lo harus berperilaku seperti cowok sejati. Tapi, ini juga soal titik ekstrim menjadi cowok yang seharusnya nggak perlu sampai pada titik itu.

Ada banyak definisi “Toxic Masculinity” yang muncul dalam penelitian dan juga budaya pop. Beberapa peneliti telah sepakat bahwa Toxic Masculinity memiliki tiga komponen inti.

Pertama, ketangguhan. Gagasan ini mengharuskan cowok untuk kuat secara fisik, nggak sebaper cewek, dan sah-sah aja berperilaku dominan dan agresif.

Kedua, antifeminitas. Gagasan ini mengajarkan cowok untuk menolak apapun yang dianggap feminin, seperti menunjukkan emosi atau menerima bantuan dari orang lain.

Ketiga, kekuasaan. Gagasan ini beranggapan bahwa cowok sejati itu yang punya kekuasaan dan status sosial agar mereka dapat dihormati orang lain.

Kenapa Kok Toksik?

Photo by Mitchell Luo on Unsplash

Fenomena ini disebut toxic masculinity atau kalau diterjemahkan menjadi maskulinitas toksik yang mengacu pada ide bahwa menjadi cowok dan ‘jantan’ artinya kuat, nggak ekspresif, dan seperangkat do and don’t lainnya yang menggambarkan gimana sih seharusnya seorang cowok itu. Misalnya cowok itu harus bertindak tegas, tangguh, dominan, agresif, dan nggak seharusnya menunjukkan semua emosi yang ada di dadanya. Padahal seperangkat konsep ‘maskulin’ ini nggak selalu benar, bahkan pada titik tertentu dapat berbahaya bagi kesehatan mental para cowok dan bagi masyarakat, itulah mengapa kemudian disebut sebagai “Toxic Masculinity.”

Kebiasaan yang nggak sehat seperti apa?

Misalnya, cowok itu harus tangguh. Tangguh itu seperti apa? Tangguh itu salah satunya adalah dengan nggak baperan ketika cobaan hidup datang menimpa. Padahal, emosi itu nggak bergender. Segala emosi berhak dimiliki oleh cowok maupun cewek. Cewek berhak untuk menangis, pun cowok. Cewek berhak untuk ekspresif, pun cowok. Secara ilmiah pun membuktikan bahwa mereka yang nggak bisa mengelola dan mengekspresikan emosi dengan baik lebih terancam memiliki imun yang lebih rendah daripada mereka dengan pengelolaan emosi yang baik.

Misal lainnya adalah istirahat dan bicara perihal kesehatan mental itu adalah domain cewek. Kalau sedikit-sedikit ke dokter itu lemah, lemah itu cewek. Cowok nggak boleh lemah. Toxic Masculinity memuliakan kebiasaan yang nggak sehat. Penelitian menunjukkan bahwa toxic Masculinity membuat cowok enggan mengunjungi dokter. Selain menghindari pengobatan, maskulinitas toksik juga mendorong perilaku nggak sehat. Misal nih, sebuah studi tahun 2007 menemukan bahwa semakin banyak cowok menyesuaikan diri dengan norma-norma maskulin yang ekstrim, semakin besar kemungkinan mereka untuk terlibat dalam perilaku berisiko, seperti minum alkohol, merokok dan mengambil pilihan berisiko.

Efek Toksik Lainnya: Stigma Kesehatan Mental

Photo by Kat J on Unsplash

Toxic Masculinity juga membuat cowok enggan mendapatkan perawatan kesehatan mental. Depresi, kecemasan, masalah penyalahgunaan zat, dan masalah kesehatan mental dapat dipandang sebagai kelemahan dan kelemahan ini nggak cowok banget.

Sebuah studi tahun 2015 menemukan bahwa cowok yang menerima gagasan tentang maskulinitas yang toksik ini lebih nyinyir dan merendahkan layanan kesehatan mental. Toxic Masculinity juga dapat menekankan bahwa nggak pantas bagi cowok untuk membicarakan perasaan mereka. Padahal, menghindari percakapan tentang masalah atau emosi dapat meningkatkan perasaan terisolasi dari orang lain. Hal ini juga dapat meningkatkan perasaan kesepian. Stigma-stigma inilah yang bikin cowok malu untuk menjangkau dan mendapatkan bantuan ketika mereka mengalami masalah kesehatan mental.

Malah Jadi Malas Membantu

Photo by Austin Kehmeier on Unsplash

Menariknya, cowok yang memandang diri mereka lebih maskulin cenderung nggak terlibat dalam “helping behavior” atau “perilaku membantu.” Sebuah studi tahun 2019 menemukan bahwa Toxic Masculinity membuat cowok cenderung menyalahkan cewek-cewek yang menjadi korban kekerasan seksual dan membela pelaku. Dalam kasus penyerangan seksual, misalnya, cowok dengan perilaku maskulin cenderung nggak menghentikan serangan tersebut. Studi ini menemukan bahwa cowok akan campur tangan dalam konflik apa pun jika mereka menganggap reputasi mereka sebagai cowok terancam.

Selama bertahun-tahun, American Psychological Association (APA) menyadari bahwa tekanan sosial yang menimpa pada cowok ini dapat memiliki konsekuensi yang berat bagi individu maupun masyarakat. Berdasarkan penelitian lebih dari 40 tahun, APA menunjukkan bahwa maskulinitas yang ekstrim seperti inil secara psikologis berbahaya. Anak cowok diminta untuk menekan emosi dan ini bisa menciptakan kerusakan, baik secara psikologis atau fisik.

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa kalau cowok nggak mendapatkan stereotip dan ekspektasi budaya, ternyata nggak banyak perbedaan dalam perilaku dasar antara cowok dan cewek. Penelitian ini menunjukkan bahwa cowok menikmati mengasuh anak seperti halnya cewek juga. Jadi, banyak hal-hal yang cenderung distereotipkan cewek banget ternyata sama dinikmatinya oleh cowok.

Sepatah Kata Dari KlikKlas

Photo by Tim Bogdanov on Unsplash

Jika Lo menerima dan mengalami Toxic Masculinity, Lo bisa mulai memilah dan memilih mana karakter maskulin yang ingin dan rasional untuk Lo pertahankan dan mana yang nggak. Dari tulisan ini gue berharap dengan semakin banyak orang belajar tentang Toxic Masculinity dan semakin banyak orang mendapatkan bantuan saat terjebak dengan toxic masculinity ini, semakin besar kemungkinan kita melihat perubahan pada tingkat yang lebih besar karena masyarakat dapat mengurangi tekanan pada cowok untuk bertindak dengan cara tertentu. Pada tingkat yang lebih kecil, semoga bisa membuat banyak dari kalian, baik cowok atau cewek, semakin bertumbuh setiap hari.

Kunjungi Media Sosial Klik.Klas Lainnya

Jangan lupa ikuti terus update kabar Klik.Klas di Instagramnya juga klik.klas. Atau lo mau dengerin versi podcastnya? Bisa banget! Klik di sini.

Tentang Penulis

Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi, M.A

Salam kenal gue Fakhi. Gue merupakan peneliti dan ilmuwan psikologi sosial yang menyelesaikan studi S1 hingga S2 di Fakultas Psikologi UGM. Yuk baca dan cari lebih dalam tulisan-tulisan gue di Instagram @fakhirah.ir

Tulisan Ini Lahir Dari Tulisan Lainnya

APA issues first-ever guidelines for practice with men and boys. American Psychological Association. https://www.apa.org/monitor/2019/01/ce-corner

Chaplin TM, Aldao A. Gender differences in emotion expression in children: a meta-analytic review. Psychol Bull. 2013;139(4):735–765. doi:10.1037/a0030737

Connelly, R. & Kimmel, J. If You’re Happy and You Know It: How Do Mothers and Fathers in the US Really Feel about Caring for Their Children?, Feminist Economics. 2015; 21:1, 1–34, DOI: 10.1080/13545701.2014.970210

E.H. Thompson, J.H. Pleck. The structure of male role norms. American Behavioral Scientist. 1986; 29: 531–543. doi.org/ 10.1177/000276486029005003

Hudson DL, Neighbors HW, Geronimus AT, Jackson JS. Racial Discrimination, John Henryism, and Depression Among African Americans. J Black Psychol. 2016;42(3):221–243. doi:10.1177/0095798414567757

Ingram, K. et al. Longitudinal associations between features of toxic masculinity and bystander willingness to intervene in bullying among middle school boys. Journal of School Psychology. December 2019; 77: 139–51. https://doi.org/10.1016/j.jsp.2019.10.007

Mahalik JR, Burns SM, Syzdek M. Masculinity and perceived normative health behaviors as predictors of men’s health behaviors. Soc Sci Med. 2007;64(11):2201–2209. doi:10.1016/j.socscimed.2007.02.035

Springer KW, Mouzon DM. “Macho men” and preventive health care: implications for older men in different social classes. J Health Soc Behav. 2011;52(2):212–227. doi:10.1177/0022146510393972

Wong, Y. J., Horn, A. J., & Chen, S. Perceived masculinity: The potential influence of race, racial essentialist beliefs, and stereotypes. Psychology of Men & Masculinity. 2013;14(4), 452–464. https://doi.org/10.1037/a0030100

Yousaf, O., Popat, A., & Hunter, M. S. An investigation of masculinity attitudes, gender, and attitudes toward psychological help-seeking. Psychology of Men & Masculinity. 2015;16(2), 234–237. https://doi.org/10.1037/a0036241

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet