Cherophobia: Gejala Takut Jadi Bahagia

klik.klas
9 min readFeb 2, 2021

--

Apakah Lo pernah ngerasa takut membiarkan diri Lo menjadi terlalu bahagia?

Photo by Alex Alvarez on Unsplash

Apakah Lo pernah ngerasa sulit untuk mempercayai perasaan positif yang muncul dalam diri Lo?

Apakah Lo pernah dalam kondisi was-was bahwa perasaan baik nggak akan pernah bertahan lama?

Apakah Lo pernah ngerasa Lo nggak pantas untuk bahagia?

Apakah Lo pernah merasa perasaan happy yang muncul bikin Lo nggak nyaman?

Apakah Lo pernah sering nggak membiarkan diri Lo terlalu bersemangat tentang suatu hal yang positif, karena lo merasa akan kehilangannya dengan cepat?

Apakah Lo pernah suatu ketika saat Lo bahagia, Lo yakin bahwa sesuatu negatif sepertinya akan segera muncul?

Dan, apakah Lo berpikiran bahwa sekali Lo terlalu bahagia, artinya Lo sedang lengah?

Well, Klikers, kalau Lo hampir mengalami semua hal yang gue tanyain di atas secara intens, bisa jadi Lo dalam fase fobia kebahagiaan alias cherophobia (baca: cerofobia).

***

APA ITU CHEROPHOBIA?

Cheroo itu apaa, apakah temenan sama buah Cheri?

Nggak gaes, nggak ada hubungannya sama buah Cheri hehe.

Photo by MI PHAM on Unsplash

Istilah cherophobia ini berasal dari istilah Yunani ‘chairo’, yang artinya ‘bersenang-senang’, sementara fobia adalah ketakutan. Jadi kalau digabungin chero bisa diartiin sebagai enggan atau takut untuk jadi bahagia. Meskipun, cherophobia belum termasuk ke dalam gangguan klinis dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5) (sebuah panduan untuk mendiagnosa sebuah gangguan psikologis), tapi Lo juga perlu berhati-hati, jangan-jangan apa yang menghalangi Lo untuk bahagia adalah ketakutan bahwa kesedihan akan selalu datang setelah kebahagiaan.

Takut akan mengalami kebahagiaan karena setelah itu Lo merasa bahwa kesedihan akan datang setelahnya, disebut sebagai cherophobia.

Klikers, sebelum kita bareng-bareng mempelajari gimana sih seseorang bisa mengalami cherophobia, yuk kita kita jelajahi dulu arti kebahagiaan dan gimana fobia didefinisikan.

Apa itu Kebahagiaan dan Fobia?

Photo by Eri Pançi on Unsplash

Cherophobia adalah ketakutan untuk mengalami kebahagiaan, karena yakin bahwa ketidakberuntungan akan terjadi setelah kebahagiaan datang.

Untuk mendalami, gue akan mulai dulu dari definisi kebahagiaan.

Kenapa kebahagiaan penting untuk didefinisikan? Sebab, bisa jadi kebahagiaan gue dan elo itu beda.

Klikers, kalau dalam penelitian psikologi ‘kebahagiaan’ bisa dimaknai sebagai ‘kesejahteraan subjektif’. Kesejahteraan adalah suatu kondisi dimana Lo ngerasa cukup dan terpenuhi. Subjektif itu artinya sangat privat, bisa beda-beda antara Lo dan Gue.

Nah, kalau fobia sendiri itu apa?

Dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental 5 (DSM-5), fobia dimasukkan ke dalam golongan ‘gangguan kecemasan’. Fobia sendiri bisa diartikan sebagai ketakutan atau kecemasan yang berlebihan tentang suatu objek, tempat, situasi, perasaan, atau hewan sampai pada tahap yang nggak wajar dan ancaman dari suatu objek itu sebenarnya nggak berbahaya. Bedanya sama takut biasa, fobia ini lebih intens daripada rasa takut dan bisa aja sampai titik yang sangat intens dan nggak rasional.

Alasan Menolak Bahagia

Photo by Allef Vinicius on Unsplash

Lalu, kenapa siih, ada orang-orang yang takut jadi bahagia? Nah, seenggaknya ada empat alasan kenapa orang jadi takut bahagia.

1. Hal Buruk Lebih Berpotensi Untuk Terjadi

Pernahkah Lo merasa ketika segala sesuatunya terasa berjalan sangat baik, aman dan tenang, tapi Lo sangat cemas karena yakin bahwa sesuatu yang buruk bentar lagi akan terjadi? Alasan yang pertama dimungkinkan dalam diri Lo ada anggapan dan kepercayaan bahwa kebahagiaan yang Lo alami dapat menyebabkan atau kemungkinan besar akan diikuti oleh kesedihan atau kejadian negatif.

2. Menjadi Bahagia Membuat Lo Menjadi Orang yang Lebih Buruk

Beberapa orang, bisa jadi Lo juga, percaya bahwa menjadi bahagia artinya bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Dan menjadi bahagia membuat seseorang terasa sangat nggak berperasaan dan nggak empatik. Ben-Shahar (2002), seorang peneliti, mengatakan orang mungkin aja takut jadi bahagia karena mereka merasa bersalah jika mereka mencapainya. Artinya, bisa jadi orang itu merasa sedang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain karena nggak semua orang bisa mencapai kebahagiaan seperti dia. Padahal, nggak semua kesedihan orang lain adalah tanggungjawab kita.

3. Mengekspresikan Kebahagiaan Buruk Bagi Lo Dan Orang Lain

Selain itu ada juga kepercayaan di antara beberapa budaya yang punya tradisi menutupi perasaan bahagia karena berpotensi menimbulkan pembicaraan negatif di masyarakat.

Misalnya, kebanyakan pada budaya Asia menunjukkan kesuksesan dan kebahagiaan yang Lo tidak disarankan. Di Indonesia sendiri, kita juga harus bersikap sederhana dan rendah hati, membicarakan diri sendiri dan segala pencapaian kita, bukan kultur yang dijunjung.

4. Mengejar Kebahagiaan itu Buruk bagi Lo dan Orang Lain

Ada juga pemahaman bahwa mengejar kebahagiaan itu bisa bikin kita tidak disukai oleh orang lain. Pencarian terhadap kebahagiaan dianggap sebagai tindakan egois dan membuat orang lain ditinggalkan dan dikorbankan.

Empat alasan tadi, sebenarnya hanya sebagian dari banyak alasan lainnya. Bisa jadi ada berbagai hal yang membuat seseorang takut untuk jadi bahagia. Misalnya, karena trauma yang terjadi di masa lalu, pola asuh orang tua hingga nilai-nilai yang dipegang dalam kehidupan.

Apapun alasannya, Lo harus memahami bahwa hidup ini seimbang, kadang sedih dan kadang bahagia. Sebagaimana kita nggak bisa menghindari kesedihan, kita juga nggak bisa menghindari kebahagiaan.

GEJALA CHEROPHOBIA

Photo by Eutah Mizushima on Unsplash

Klikers, saat ini nggak ada kriteria diagnostik untuk cherophobia. Namun, kondisi berbasis rasa takut biasanya dimasukkan sebagai gangguan kecemasan. Nah, ada dua gejala berupa pikiran dan perilaku pada seseorang yang mengalami cherophobia

Gejala Pikiran (Kognitif):

Gejala ini berupa pikiran-pikiran mengganggu yang terus menghantui hidup Lo dan mengambil semua ketenangan dalam hidup Lo. Seperti

· Lo percaya bahwa perasaan bahagia membuat Lo menjadi orang yang buruk

· Lo percaya bahwa bahagia akan menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi

· Lo percaya bahwa Lo nggak boleh mengungkapkan kebahagiaan jika itu membuat orang lain kesal

Gejala perilaku

· Menghindari pertemuan sosial yang menyenangkan

· Menolak hubungan atau peluang hidup yang mungkin membawa kebahagiaan dan kesuksesan

MELAWAN CHEROPHOBIA

Photo by Lucas Sankey on Unsplash

Cherophobia nggak dikenali sebagai gangguan psikologis. Oleh karena itu, kurang ada pilihan terapi yang standar untuk gangguan tersebut. Namun, karena fobia secara umum diklasifikasikan sebagai gangguan kecemasan, terapi yang dilakukan masuk ke dalam terapi kecemasan. Beberapa di antaranya seperti…

Terapi Pikiran dan Perilaku (Cognitive Behavior Therapy)

Klikers, ngobrol dengan konselor melalui konseling dan psikoterapi untuk mengubah pikiran dan perilaku kita, seringkali merupakan cara yang sangat efektif untuk menangani fobia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa Terapi Pikiran dan Perilaku (Cognitive Behavior Therapy) ini adalah pengobatan yang sangat efektif untuk gangguan kecemasan (van Dis et al., 2020).

Terapi Pikiran dan Perilaku membantu seseorang untuk mengenali pola berpikir yang toksik dan memengaruhi perilaku dan suasana hati penderita cherophobia.

Selain itu ada sebuah teknik lain yang disebut teknik paparan. Terapi paparan sangat membantu seseorang untuk menghadapi ketakutan mereka dengan sengaja, daripada menghindarinya, dengan paparan langsung dan berulang. Intinya ini adalah sebuah pembiasaan terhadap objek atau situasi yang menimbulkan ketakutan. Misalnya, kalau Lo takut untuk bahagia, Lo malah akan didorong untuk menghadapi kebahagiaan itu. Tentu hal ini harus diawasi oleh terapis, supaya formula paparannya nggak ngasal. Idenya adalah saat seseorang terus menerus menghadapi rasa takutnya, kecemasan mereka terhadap rasa takut tersebut kemungkinan besar akan berkurang.

Mindfulness (Be Here and Now)

Hal lain yang bisa Lo lakuin saat merasa cemas akan kesedihan dan keburukan yang Lo yakin bakal datang setelah kebahagiaan, Lo diminta untuk bersikap mindful, alias be here and now. Fokus pada apa yang dihadapi hari ini adalah salah satu cara melawan kecemasan akan masa depan (Blanck et al., 2018). Kalau Lo merasa kecemasan akan ketidakbahagiaan di hari esok menghampiri Lo yang sedang bahagia di hari ini, Lo bisa menggunakan cara be here and now ini dengan bicara ke diri sendiri bahwa kecemasan untuk besok, biarlah dihadapi besok, kebahagiaan yang datang hari ini haruslah dinikmati. Apa yang terjadi besok, mari kita pikirkan besok. Yang terpenting, hari ini kita sudah melakukan yang terbaik.

Teknik Lainnya

Bagi kalian yang mengalami cherophobia mungkin nggak selalu menemukan gejala klinis yang sangat terlihat. Konsep intinya adalah Lo menolak dan menghindari kebahagiaan secara ekstrim. Dengan demikian, beberapa teknik merawat diri secara sederhana dapat membantu Lo meredakan kecemasan yang terkait dengan perasaan nggak nyaman akan ketidakbahagiaan di masa depan, seperti bicara dengan orang yang mengerti Lo, menuliskan segala emosi pada diari, atau melakukan hal-hal lain yang membuat Lo terlalu sibuk untuk merasa cemas.

Sepatah Kata Dari KlikKlas

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Sekali lagi, cherophobia bukan gangguan psikologi klinis. Meskipun cherophobia belum dikenali secara klinis, ada banyak teknik seperti terapi perilaku dan pikiran dan mindfulness (be here and now) yang dapat membantu meringankan gejala, jika Lo mengalami ketakutan semacam itu.

Banyak dari kita mungkin pernah merasakan pada titik tertentu, kekhawatiran menjadi terlalu bahagia karena takut bahwa perasaan ini mungkin nggak bertahan lama dan bahwa pada akhirnya kita mungkin dihadapkan pada kesedihan yang lebih besar.

Klikers, sebagai muda yang selalu bertumbuh setiap hari, gimanapun Lo melihat kebahagian dan nggak peduli latar belakang budaya Lo, kita semua berhak untuk hidup bahagia. Bahagia, merasa aman, dan nyaman, adalah kondisi dasar yang ingin dicapai oleh semua orang. Jangan biarkan rasa takut merebut dan menghalangi kesempatan indah dalam hidup Lo. Selamat bertumbuh!

Penulis

Fakhirah Inayaturrobbani, S.Psi., M.A adalah ilmuwan psikologi di bidang relasi sosial dan kelompok. Fakhi menyelesaikan S1 dan S2 nya di Fakultas Psikologi UGM. Visit Instagramnya melalui @fakhirah.ir atau email melalui Fakhirah.inayaturrob@mail.ugm.ac.id

Referensi

Agbo, A. A., & Ngwu, C. N. (2017). Aversion to happiness and the experience of happiness: The moderating roles of personality. Personality and Seseorangal Differences, 111, 227–231.

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). American Psychiatric Publishing.

Ben-Shahar, T. (2002). The question of happiness: On finding meaning, pleasure, and the ultimate currency. iUniverse.

Blanck, P., Perleth, S., Heidenreich, T., Kröger, P., Ditzen, B., Bents, H., & Mander, J. (2018). Effects of mindfulness exercises as stand-alone intervention on symptoms of anxiety and depression: Systematic review and meta-analysis. Behaviour Research and Therapy, 102, 25–35.

Braun, S. (2001). The Science of happiness: Unlocking the mysteries of mood. Wiley.

DeNeve, K. M., & Cooper, H. (1998). The happy personality: A meta-analysis of 137 personality traits and subjective well-being. Psychological Bulletin, 124(2), 197–229.

Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective well-being: Three decades of progress. Psychological Bulletin, 125(2), 276–302.

Gilbert, P., McEwan, K., Gibbons, L., Chotai, S., Duarte, J., & Matos, M. (2012). Fears of compassion and happiness in relation to alexithymia, mindfulness, and self‐criticism. Psychology and Psychotherapy: Theory, Research and Practice, 85(4), 374–390.

Haber, M. (2013). Concealing labor pain: The evil eye and the psychoprophylactic method of painless childbirth in Soviet Russia. Kritika: Explorations in Russian and Eurasian History, 14(3), 535–559.

Joshanloo, M. (2013). The influence of fear of happiness beliefs on responses to the satisfaction with life scale. Personality and Seseorangal Differences, 54(5), 647–651.

Joshanloo, M. (2014). Eastern conceptualizations of happiness: Fundamental differences with western views. Journal of Happiness Studies, 15(2), 475–493.

Joshanloo, M., & Weijers, D. (2014). Aversion to happiness across cultures: A review of where and why people are averse to happiness. Journal of Happiness Studies, 15(3), 717–735.

Kabat-Zinn, J. (2006). Mindfulness for beginners. Sounds True.

Lyubomirsky, S. (2007). The how of happiness: A practical guide to getting the life you want. Piatkus.

Melka, S. E., Lancaster, S. L., Bryant, A. R., Rodriguez, B. F., & Weston, R. (2011). An exploratory and confirmatory factor analysis of the Affective Control Scale in an undergraduate sample. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment, 33(4), 501–513.

Pflug, J. (2009). Folk theories of happiness: A cross-cultural comparison of conceptions of happiness in Germany and South Africa. Social Indicators Research, 92(3), 551–563.

Ricard, M. (2011). The Dalai Lama: Happiness through wisdom and compassion. International Journal of Wellbeing, 1(2).

Sheldon, K. M., Titova, L., Gordeeva, T. O., Osin, E. N., Lyubomirsky, S., & Bogomaz, S. (2017). Russians inhibit the expression of happiness to strangers: Testing a display rule model. Journal of Cross-Cultural Psychology, 48(5), 718–733.

Suh, E. M., & Oishi, S. (2002). Subjective well-being across cultures. Online Readings in Psychology and Culture, 10(1).

Triandis, H. C., Bontempo, R., Leung, K., & Hui, C. H. (1990). A method for determining cultural, demographic, and personal constructs. Journal of Cross-Cultural Psychology, 21(3), 302–318.

Uchida, Y., Norasakkunkit, V., & Kitayama, S. (2004). Cultural constructions of happiness: theory and empirical evidence. Journal of Happiness Studies, 5(3), 223–239.

Uchida, Y., & Kitayama, S. (2009). Happiness and unhappiness in east and west: Themes and variations. Emotion, 9(4), 441–456.

van Dis, E. A., van Veen, S. C., Hagenaars, M. A., Batelaan, N. M., Bockting, C. L., van den Heuvel, R. M., … Engelhard, I. M. (2020). Long-term outcomes of cognitive behavioral therapy for anxiety-related disorders: a systematic review and meta-analysis. JAMA Psychiatry, 77(3), 265–273.

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet