Apakah Lo Kena Sindrom FOMO?

klik.klas
8 min readMay 18, 2021

--

“Apakah Lo merasa nggak mau ketinggalan ketika orang lain memiliki pengalaman yang lebih seru daripada Lo?”

Photo by Josh Rose on Unsplash

“Apakah Lo terus menerus online karena takut Lo bakal nggak se-update temen-temen Lo?”

Bisa jadi Lo terserang sindrom takut ketinggalan (dari temen-temen Lo) atau disebut Fear of Missing Out (FOMO).

Apa Itu Sindrom FOMO?

Photo by Georgia de Lotz on Unsplash

FOMO adalah sebuah gejala dimana Lo merasa “takut ketinggalan” dari apa-apa yang dilakukan oleh orang lain. FOMO ini merupakan fenomena nyata yang makin lama makin menjadi-jadi dan gue lihat semakin banyak menyerang pengguna media sosial, yang jeleknya bisa menyebabkan stres yang signifikan dalam hidup Lo. FOMO dapat mempengaruhi hampir semua orang, tetapi beberapa orang memiliki risiko yang lebih besar. Karena variasi ketahanan seseorang berbeda-beda.

Rasa takut ketinggalan ini juga sebuah kondisi yang mana Lo merasa merasa dan berpikir bahwa orang lain lebih punya banyak kegiatan yang menyenangkan daripada Lo, Lo mereka menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mereka mengalami hal-hal yang lebih seru daripada Lo.

FOMO akhirnya menimpa diri seseorang dan membuat Lo merasa iri yang tanpa Lo sadari ternyata cukup dalam mempengaruhi harga diri Lo. Apalagi, sindrom takut ketinggalan ini sering diperburuk dengan aktivitas Lo scroll kabar temen Lo di media sosial seperti Instagram dan Facebook.

Sejarah Singkat FOMO

Photo by Eaters Collective on Unsplash

Kalau kita bicara soal FOMO, bisa aja kita sering mengaitkan dengan fenomena anak muda pengguna media sosial di era teknologi saat ini. Namun, tahu nggak Lo, FOMO telah ada selama berabad-abad tapi emang baru dipelajari selama beberapa dekade terakhir. Dimulai dengan artikel penelitian tahun 1996 oleh ahli pemasaran, Dr. Dan Herman, yang pertama menciptakan istilah “takut ketinggalan” alias FOMO. Namun, sejak kemunculan media sosial, FOMO jadi dipelajari lebih sering. Media sosial emang mempercepat fenomena FOMO dalam banyak cara. Media sosial memberikan situasi di mana Lo membandingkan kehidupan “biasa” Lo dengan kehidupan orang lain yang terlihat “luar biasa”. Oleh karena itu, Lo seakan-akan merasakan kehidupan Lo lebih buruk dari teman-teman Lo. Lo bisa jadi melihat foto detail teman-teman Lo yang menikmati saat-saat menyenangkan dan Lo merasa “Duh, gue apa sih dibanding dia?”

Emang tanpa disadari media sosial menciptakan platform untuk “menyombongkan diri”, di sinilah barang, peristiwa, dan bahkan kebahagiaan itu sendiri tampaknya bersaing antara satu orang dengan orang lainnya, pada waktu yang sama. Pada detik yang sama orang-orang membandingkan pengalaman mereka yang sempurna, yang bisa jadi membuat Lo bertanya-tanya kenapa hidup gue nggak kayak dia/mereka.

Beberapa Penelitian tentang FOMO

Photo by Szabo Viktor on Unsplash

Situs Jejaring Sosial Bikin Makin Terjerat FOMO

Lo tahu nggak? Cewek yang mengalami depresi cenderung lebih sering menggunakan situs jejaring sosial, sedangkan bagi cewek, kecemasan adalah pemicu penggunaan media sosial yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan media sosial malah dapat menyebabkan tingkat stres yang lebih tinggi akibat FOMO.

FOMO, Usia, dan Jenis Kelamin

Apakah FOMO hanya rentan terjadi sama kita-kita generasi muda dan perempuan aja? Oh, tidak. FOMO dapat dialami oleh orang-orang dari segala usia. Gue kutip sebuah studi di jurnal Psychiatry Research yang menemukan bahwa rasa takut ketinggalan ternyata bikin kita lebih cenderung lebih massif dalam menggunakan smartphone dan media sosial yang lebih besar dan ini ditemukan dalam berbagai usia. Penelitian juga menemukan bahwa penggunaan media sosial dan penggunaan smartphone yang “bermasalah” juga berkaitan dengan orang dengan kecenderungan FOMO yang lebih besar.

Kepuasan Hidup

Artikel lain yang gue baca ternyata menjelaskan bahwa mereka dengan kecenderungan FOMO punya kepuasan hidup yang lebih rendah. Artinya, lebih cenderung terus merasa nggak puas sama hidupnya. Terus merasa kurang ini, kurang itu, dan lain sebagainya.

Potensi Bahaya FOMO

Selain meningkatnya perasaan nggak bahagia, rasa takut ketinggalan dapat menyebabkan keterlibatan yang lebih besar dalam perilaku yang beresiko. Misal, mengkonsumi barang-barang yang nggak seharusnya dikonsumsi, ikut-ikutan suatu perbuatan hanya demi gengsi, serta gangguan emosi dan perilaku yang variative.

Lalu Gimana Caranya Meminimalkan FOMO

Photo by Katka Pavlickova on Unsplash

Untungnya, FOMO bisa diatasi untuk mengelola sindrom takut ketinggalan / FOMO ini. Pertama, mari memahami di mana letak masalahnya, sebagai langkah awal yang bagus untuk mengatasinya. Berikut ini dapat membantu.

Ubah Fokus Lo

Daripada berfokus pada kekurangan Lo, cobalah memerhatikan apa yang Lo miliki. Gue tahu ini sulit. Gue tahu mengubah focus sangat mudah diucapkan tapi sulit dilakukan. Apalagi setiap kita buka sosmed bisa aja kita dibombardir dengan postingan teman-teman online atas hal-hal yang nggak kita miliki. Tips praktisnya adalah tidak menginstall sosial media sekali.

“Tapi, gue masih butuh sosial media untuk urusan akademik atau hal lainnya. Gue nggak bisa nggak update,”

Lo bisa bikin second account dan hanya follow hal-hal yang positif buat kesehatan mental Lo. Berusahalah untuk mengidentifikasi apa yang bisa jadi menurunkan kegembiraan Lo saat online. Berusahalah untuk meminimalkan hal-hal tersebut.

Buat Diary Non-Online

Bagaimana dengan membuat diary offline daripada Lo ketergantungan mengekspos cerita Lo di media sosial. Kenapa? Coba analisis, Lo posting supaya dapat pujian atau hanya untuk berbagai pengalaman? Kalau Lo ingin mendapat sanjungan dan pujian, Lo bisa jadi ingin orang-orang memvalidasi pengalaman Lo secara online. Jika ini masalahnya, buatlah jurnal pribadi tentang kenangan terbaik Lo, baik secara offline, sekaligus untuk mengurangi ketergantungan dengan media sosial dan validasi dari orang lain.

Sekali lagi, membuat jurnal dapat membantu Lo mengalihkan fokus dari persetujuan publik menjadi apresiasi pribadi terhadap hal-hal yang membuat hidup Lo terasa luar biasa. Mengalihkan catatan di media sosial ke diari offline terkadang dapat membantu Lo keluar dari jeratan media sosial dan FOMO.

Bangun Pertemanan di Dunia Nyata

Perasaan kesepian atau pengucilan sebenarnya adalah cara otak kita untuk memberi tahu kita bahwa kita ingin mencari koneksi yang lebih besar dengan orang lain dan meningkatkan rasa keterhubungan kita dengan orang lain.

Sayangnya, aktivitas Lo di media sosial nggak selalu menjadi cara untuk mencapai hubungan yang nyata itu. Lo bisa aja jadi berlari dari satu situasi buruk ke situasi yang lebih buruk. Daripada mencoba untuk lebih terhubung dengan orang-orang di media sosial, mengapa nggak mengatur acara untuk bertemu dengan teman Lu secara langsung? Lo bisa membuat rencana bertemu dengan seorang teman yang baik, misal mengadakan liburan, melakukan kegiatan sosial dan hal ini akan dapat membantu Lo menghilangkan perasaan bahwa Lo ketinggalan. Ini menempatkan Lo di tengah aksi.

Jika Lo nggak punya waktu untuk membuat rencana dan bertemu langsung, gimana kalau menyapa mereka via chat secara pribadi. Pesan pribadi untuk memperdalam hubungan lebih baik dan lebih intim daripada memposting pesan Lo ke semua teman Lo dan mengharapkan “suka”

Fokus pada Syukur

Penelitian menunjukkan bahwa terlibat dalam aktivitas yang meningkatkan rasa syukur seperti menulis diary syukur atau sekadar memberi tahu orang lain apa yang Lo hargai darinya dapat meningkatkan semangat Lo serta semua orang di sekitar Lo.

Lo akan sulit merasa kurang. Ini juga berlaku karena membuat orang lain merasa baik membuat kita merasa baik. Lo bisa jadi nggak akan merasa kurang ketika Lo menyadari betapa banyak yang sudah Lo miliki. Lo akan mulai merasa bahwa Lo memiliki apa yang Lo butuhkan dalam hidup dan begitu pula orang lain. Perspektif ini sangat bagus untuk kesehatan mental dan emosional Lo.

Sepatah Kata dari KlikKlas

Photo by Sigmund on Unsplash

Meskipun FOMO adalah fenomena terkait media sosial, tetapi ini adalah kejadian yang sangat nyata dalam kehidupan kita. Perasaan yang sangat nyata dan umum di antara orang-orang dari segala usia. Setiap orang merasakan tingkat FOMO tertentu pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka.

Jika Lo merasa menderita karena merasa kehilangan, ada baiknya untuk menghubungi teman atau meluangkan waktu untuk merenungkan hal-hal yang Lo syukuri dalam hidup Lo. Kegiatan seperti ini dapat membantu kita meletakkan segala sesuatu dalam perspektif syukur dan melepaskan kecemasan akan “ketinggalan” dari orang lain.

Klikers, menjadi muda yang selalu bertumbuh setiap hari, kita harus menyingkirkan perasaan yang tidak produktif, seperti membandingkan diri yang tidak perlu dengan orang lain.

Bonus: Cek Diri Sendiri

Photo by bruce mars on Unsplash

Di bawah ini adalah sebuah skala yang dibuat oleh Przybylski, Murayama, DeHann, & Gladwell (2013) untuk mengukur apakah Lo terjangkit sindrom FOMO ini. Lo bisa mengisinya secara mandiri dari skala 1 sampai dengan 5 (1 = Sangat tidak sesuai dengan diri gue dan 5 = Sangat Sesuai dengan diri gue) Kalau Lo memiliki total skor semakin gedhe dan mendekati 50 puluh, artinya Lo semakin punya tendensi takut ketinggalan dibandingkan yang lainnya. Tapi, dalam menggunakan ini, Lo perlu memahami kita nggak bisa menghukumi diri kita hanya berdasarkan satu alat ukur. Lo harus juga menambahkannya dengan mengobservasi diri Lo sendiri. Serta, karena alat ukur ini nggak dibuat di Indonesia, Lo harus paham, bisa jadi budaya online negara di luar Indonesia beda sama kita. So, dalam mengecek diri Lo sendiri dan nanti Lo tahu hasilnya, Lo jangan langsung mendiagnosa diri Lo tanpa bantuan ahli yaa…

Oke, dari 1 (sangat tidak sesuai) sampai dengan 5 (sangat sesuai), seberapa Lo merasa pernyataan di bawah ini menggambarkan diri Lo?

1. Gue takut orang lain (bahkan yang nggak gue kenal) memiliki pengalaman yang lebih berharga daripada Gue.

2. Gue takut teman-teman dekat gue memiliki pengalaman yang lebih berharga daripada Gue.

3. Gue jadi khawatir ketika gue mengetahui teman-teman gue bersenang-senang tanpa gue.

4. Gue merasa cemas ketika gue nggak tahu apa yang teman-teman gue lakukan.

5. Penting bagi gue untuk memahami lawakan dan bercandaan temen-temen gue.

6. Kadang-kadang, gue bertanya-tanya kenapa gue bisa menghabiskan segitu banyaknya untuk mengikuti apa yang sedang terjadi di dunia maya.

7. Gue merasa terganggu jika melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan teman-teman gue.

8. Ketika gue bersenang-senang, penting bagi gue untuk membagikan detailnya secara online (mis. update status)

9. Ketika gue melewatkan pertemuan yang direncanakan oleh temen-temen, gue jadi merasa nggak enak dan perasaan itu mengganggu gue.

10. Saat Gue pergi berlibur, gue juga terus memantau apa yang dilakukan teman-teman gue.

Gimana udah dicoba? Apa hasilnya?

Tulisan ini Lahir dari Tulisan Lainnya

Cacioppo, S., Capitanio, J. P., & Cacioppo, J. T. (2014). Toward a neurology of loneliness. Psychological bulletin, 140(6), 1464.Cunha LF, Pellanda LC, Reppold CT. Positive Psychology and Gratitude Interventions: A Randomized Clinical Trial. Front Psychol. 2019;10:584. doi:10.3389/fpsyg.2019.00584

Herman, D. (2000). Introducing short-term brands: A new branding tool for a new consumer reality. Journal of Brand Management, 7(5), 330–340.

Oberst, U., Wegmann, E., Stodt, B., Brand, M., & Chamarro, A. (2017). Negative consequences from heavy social networking in adolescents: The mediating role of fear of missing out. Journal of adolescence, 55, 51–60.

Wolniewicz, C. A., Tiamiyu, M. F., Weeks, J. W., & Elhai, J. D. (2018). Problematic smartphone use and relations with negative affect, fear of missing out, and fear of negative and positive evaluation. Psychiatry research, 262, 618–623.

--

--

klik.klas
klik.klas

Written by klik.klas

Platform pengembangan diri di luar kelas yang asik. Mengajak seluruh anak muda Indonesia untuk menjadi muda yang #SelaluBertumbuh setiap hari.

No responses yet